Turut Larut Bersama Perasaan-Perasaan Melayari Manusia ke Tubuh Derita

Oleh: Fatma Hamza

Ruangan terdengar senyap, lekat, penuh intim. Selembar kain putih polos, membentang rapi di tengah. Stoples berbentuk tabung kaca dengan penutup berbahan dasar kayu, tergeletak rapi di tepi kain. Sebuah buku catatan kecil lengkap beserta penanya turut menemani Sang Stoples di sana. 

Alghifahri Jasin, selanjutnya disebut Agi, duduk di seberang tepi, rambutnya terurai, baju yang ia kenakan lebih mirip kemeja, tetapi seperti berbahan satin berwarna hitam, juga bawahan sarung putih. Suasana berlangsung khidmat, penonton memenuhi ruangan, donat buatan Istri tercinta Agi juga disuguhkan dengan menarik di atas meja di sisi kiri pintu masuk. Namun, kita tidak sedang membahas tentang donat yang rasanya maha lembut itu, tetapi perihal karya tumbuh yang sedang dipresentasikan. 

Karya Agi, sengaja ia sebut karya yang tumbuh. Pertama kali membawakan presentasi karya tersebut, ia suguhkan di Tubaba, Lampung. Karya yang ia sebut karya yang tumbuh, bukan tanpa alasan, karena apa yang ditampilkan bukanlah karya utuh melainkan sebuah proses sebelum utuh menjadi karya. Presentasi ini mendapat pantulan dari penonton, selanjutnya Agi akan menangkap segala pantulan itu berupa cerita-cerita penonton tentang laut untuk dia olah dalam proses karyanya. Harapan dilihat bukan hanya menjawab pertanyaan bagaimana laut dan darat itu hidup di mereka. Namun, akan terus menjawab perihal pertanyaan-pertanyaan selanjutnya, pertanyaan-pertanyaan yang lahir kemudian. Bisa jadi perihal bagaimana perasaan-perasaan mereka menjalani rutinitas yang itu-itu, perasaan-perasaan mereka menjalani rutinitas yang mulai berubah-ubah, perasaan-perasaan mereka menjalani rutinitas yang nang ning nong.

Karya yang tumbuh yang sedang Agi usahakan. Agi menyebutnya presentasi karya yang sedang tumbuh, sebab masih berusaha ia usahakan, berusaha ia selami, dan akan terus tumbuh, katanya. Namun, mari kita sebut ia dengan pertunjukan.

Pertunjukan dibuka dengan kain yang terbentang, diusap-usap penuh kasih. Semua sunyi, Agi memperbaiki duduknya. Suara bentangan kain seperti suara ombak di pesisir, Agi ulang-ulang terus-terus. Tepi kain ia buka sedikit, sedikit ke tengah, sedikit hampir sepenuhnya, perlahan tubuh Agi berada di dalamnya. Larut, begidik, lantang, parau, haru, lagu, bisik, tepuk, cakar, robek, puisi, nyeri, ngilu, sepi, rindu, begitu seterusnya. Seiring nyanyian yang menggema, kain makin menutupi tubuh Agi, kepalanya makin rapat ke bumi. Seolah kapal sedang lunglai, berkelahi dengan arah angin yang senang bermain-main, tubuh Agi turut ke sana kemari. Ia melantunkan kelong-kelong, liriknya tiada berhenti terngiang, yang menonton makin khidmat. Ketika semua hampir usai, Agi berdiri. Menuju ke tengah, bersila, buku di depannya ia buka dengan melepaskan tali kaitannya lalu mulai menulis di secarik demi secarik. Tiap secarik yang ia gulung, ia masukkan ke dalam stoples penuh air, mengapung. Rambutnya ia potong sedikit dan turut larut. Selepas itu, ia berdiri, membagikan secarik demi secarik kepada semua penonton yang hadir. Penutup stoples ia tutup, ia kembali duduk, bernyanyi sebentar, berpuisi hampir sebentar, entah itu bait yang bersambung, semua terdengar sarat. Menariknya, rambut Agi yang semula terurai kini menggumpal, setelah ia gunting di tengah pertunjukan yang hendak selesai.

“Terima kasih,” tutup Agi.

Bagiku, kain yang terbentang mewakili layar kapal-kapal para nelayan. Juga pada suara-suara yang tercipta oleh kain yang terus menerus dibentang, ombak-ombak kian menubruk dada kepala keluarga yang harus menahan semua perasaan-perasaan ragunya, semua perasan-perasaan takutnya. Ketimbang kebutuhan kehidupan, rasa-rasanya semua hal tidak lagi cukup dijadikan pertimbangan.

Sedang tubuh Agi yang berusaha masuk ke dalam kain, menurutku mewakili perasaan Agi yang hendak menyelami perasaan-perasaan yang dipelihara masyarakat di pesisir tiap kali kewajiban melaut itu datang. Sementara harapan, mengapung bersama secarik demi secarik. 

Secarik demi secarik yang ia persilakan kepada semua penonton untuk saling mengambil satu-satu, seolah seperti keinginannya untuk turut membagikan harapan pada semua makhluk yang hidup. Seolah semua yang bernyawa berhak menggenggam harapan, berhak terus hidup dengan harapan yang ia peluk. Tidak semua penonton menggunakan nuraninya untuk tahu bahwa ia berhak mengambil secarik demi secarik itu. Beberapa penonton di awal, memilih memperhatikan ke dalam, memilih melekat sejenak, memilih tidak menyentuh apa pun. Beberapa yang lain, tak butuh banyak waktu, merasa perlu melongok ke dalam, memilih secarik mana yang akan ia jadikan miliknya. Begitu juga denganku, secarik pilihanku kupilih tanpa ba bi bu, tanpa ina inu.

Saat Agi mulai bersila kembali, ia mendengungkan kalimat-kalimat yang sarat.

Bila nenek moyangku seorang pelaut

Ia menjala jawaban atas semua pertanyaan yang tertinggal di bibir untuk diucapkan

Bila nenek moyangku seorang pelaut

Ia menukar ikan dengan gedung sekolah impian Ibu

Memang nenek moyangku seorang pelaut

Ibu menjadi guru dan aku dihukum tak menghapalkan lagu itu

Kau, nenek moyangmu seorang?

Judulnya “Mencetak Identitas”, sarat sekali. Tidak hanya pertanyaan-pertanyaan perihal realitas seseorang yang lahir di pesisir, pertanyaan-pertanyaan perihal seseorang yang menghabiskan hari-harinya sebagai anak nelayan, juga pertanyaan-pertanyaan perihal bagaimana laut dan darat di hidup mereka, terus berputar-putar, tak terselesaikan. 

Kata Agi, mungkin alasan mengapa kita menyukai perayaan dalam setiap bagian hidup kita untuk merayakan penderitaan dan menanggungnya bersama. Ini juga terekam lewat cara Agi menggunting rambutnya saat pengujung pertunjukan karya yang sedang tumbuh ini tiba. Sayang sekali, beberapa tahun belakangan rambut Agi yang panjangnya sedikit melewati bahunya sangat melekat dengan dirinya, menikmati ke mana kehendak kaki Agi melangkah. Bagian itu bisa saja merupakan penutup, bisa pula menjadi sebuah perayaan terhadap kesukaran yang telah dia, kita, mereka, kalian, dan seluruh penduduk di pesisir lewati. 

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *