Sea to See: Interview Bersama Ilona McGuire

Semua Foto diambil Oleh Gibe

Pada 14 Juni lalu, Ilona McGuire melakukan presentasi publiknya berupa pertunjukan ‘Sea to See’ di halaman belakang Rumata’ ArtSpace. Ilona adalah seorang seniman Bibbulmun Noongar dan Kungarakan (Bangsa Pertama ‘Australia’) yang terpilih mengikuti program pertukaran seniman Breeze: Makassar – Perth dari PICA yang bekerja sama dengan  FSD UNM dan Rumata’ ArtSpace dan didukung oleh Project Eleven. Karya-karyanya banyak mengeksplorasi tentang sejarah, ekspresi emosional melalui pertunjukan, dan karya visual menggunakan pendekatan lensa budayanya.

‘Sea to See’ adalah sebuah performans kolaboratis dalam rangka melestarikan hubungan serta warisan sejarah dan budaya maritim antara Makassar dengan Australia Barat yang berkolaborasi dengan seniman Makassar yaitu Alghifari Jasin, Syakirah, Andi Nur Azimah, Arif Daeng Rate, Hirah Sanada, Muhammad Mahar, dan Andi Sukran.

Berikut wawancara tim newsletter Rumata’ Khomeiny Imam bersama Ilona di halaman belakang Rumata’ ArtSpace.


Oke. Hai Ilona. Bisakah kamu ceritakan sedikit tentang siapa itu Ilona, dan bagaimana kamu tumbuh, serta hubungan kamu dengan suku Bibbulmun Noongar dan Kungarakan atau First Nation Australia?

Ilona:
Baik, terima kasih sudah mengundangku. Namaku Ilona Maguire, dan pertama-tama, aku ingin memperkenalkan diri melalui suku-suku aku.

Suku-suku pribumi di Australia, yang sekarang kita kenal sebagai Australia. Aku mengakui garis keturunan ayahku dari suku Bibbulmun Noongar, yang terdiri dari 14 klan suku, dan aku bagian dari tiga klan tersebut, yaitu Whadjuk, Balladong, dan Yuat. Dan dari sisi ibuku, aku merupakan suku Kungarakan, yang berada di selatan Darwin, dan suku Noongar ada di barat daya Australia.

Jadi, ya, itu adalah kebiasaan bagi banyak orang pribumi di Australia untuk memperkenalkan diri mereka dan kemudian suku mereka. Itu cukup umum. Dan, ya, aku lahir di sebuah kota kecil di Australia Barat bernama Kalgoorlie, dan tinggal di sana selama beberapa tahun, di mana aku memulai pendidikan awal di sekolah Aborigin.

Lalu kami pindah ke Perth untuk memulai sekolah dasar aku. Ya, tinggal di sana beberapa tahun lagi, pindah ke Darwin untuk lebih dekat dengan keluarga dari sisi ibu aku untuk bertemu dengan mereka, terhubung dengan sisi keluarga Kungarakan kami.

Dan, ya, lalu kembali ke Perth untuk menyelesaikan sekolah menengahku. Jadi, ya, banyak berpindah-pindah, dan seni adalah sesuatu yang sangat aku hubungkan, yang memungkinkan aku untuk mengekspresikan diri dan mengenal diri aku melalui menciptakan sesuatu.


Ya ya.. bagaimana dengan proses kreatifmu dalam “Sea to See”, bisa kamu ceritakan?

Ilona:
Jadi, saat aku mendengar tentang residensi ini, aku pikir itu tahun lalu, aku sudah tertarik dan mencoba meneliti sebanyak mungkin tentang hubungan antara Makassar dan orang-orang pribumi sepanjang sejarah karena aku tahu ada sesuatu di sana, tetapi aku tidak tahu cukup banyak tentangnya untuk memberikan komentar. Tapi itu benar-benar memicu minat aku, dan residensi ini muncul di PICA, Perth Institute of Contemporary Art. Aku sudah pernah bekerja dengan PICA sebelumnya, jadi aku mengenal seseorang di sana yang memberitahu aku tentang kesempatan ini.

Jadi aku pikir, oh, ini bagus, maka aku akan mendaftar, karena itu berkaitan dengan penelitian tentang hubungan tersebut. Orang-orang terus bertanya kepadaku, apa yang akan kamu buat? Apa yang akan kamu ciptakan dari residensi ini? Dan aku hanya, aku tidak tahu karena aku tidak ingin membangun ekspektasi apapun, belum pernah ke sini sebelumnya, tidak mengetahui budaya, tidak mengetahui orang-orangnya. Aku bisa saja datang ke sini dan benar-benar ditolak, dan aku siap mengambil risiko itu karena aku pikir, ini semua adalah bagian dari proses belajar. Dan aku datang ke sini, disambut dengan keramahan luar biasa dari Azima setelah bertemu dengannya di Perth beberapa minggu sebelum aku datang ke sini, kami sudah bertemu dan memulai sedikit persahabatan, menurutku.

Jadi ketika aku datang ke sini, dia membuatnya lebih mudah karena ada seseorang yang aku kenal. Tapi ya, kemudian kami perlahan mulai berbicara tentang jenis karya apa yang bisa keluar dari relasi dan penelitian itu. Awalnya, aku berniat hanya membuat beberapa karya tekstil dengan gaya batik, mencampurkan elemen-elemen pribumi dan simbol-simbol visual seperti totem, untuk mewakili hubungan dari mana aku bisa mengambil kekuatan sebagai seorang Pribumi. Aku percaya kita membutuhkan lebih banyak elemen yang dapat memberikan kekuatan bagi kita sebagai masyarakat Pribumi.

Jadi, kami terus berbicara tentang itu, Azima dan aku. Aku juga bertemu dengan Arif, dan kami berbicara tentang musik. Kemudian, kami mulai berdiskusi tentang pertukaran tak berwujud yang tidak memerlukan pembuatan lebih banyak properti, karena aku tidak benar-benar percaya pada pembuatan lebih banyak benda. Lukisan di dinding, misalnya, terasa tidak berguna bagiku. Aku pikir dunia membutuhkan lebih banyak karya positif yang tidak berwujud, yang dapat menciptakan komunitas atau percakapan di sekitarnya, yang entah bagaimana bermanfaat untuk sedikit penelitian atau berkontribusi pada sesuatu yang lebih besar dari diri kita sendiri. Aku tidak ingin membuatnya tentang diriku sendiri; aku ingin itu menjadi sesuatu yang dapat kita lihat dan diberdayakan oleh kita sebagai manusia. Ini cukup ambisius, menurutku.

Namun, kami terus berbicara tentang itu. Arif mulai bercerita tentang Kajang, dan semakin banyak kami membahasnya, semakin menarik jadinya. Arif berkata, mungkin kita bisa pergi ke sana akhir pekan berikutnya atau setelahnya. Kami semua setuju, oh, oke, kita lakukan ini. Kami semua, termasuk Ipang, melompat ke dalam mobil dan pergi untuk perjalanan ke Gibe. Kami tinggal di sana selama beberapa malam dengan keluarga Arif, dan kemudian kami benar-benar mengunjungi desa Kajang. Apakah itu terbatas? Aku tidak tahu bagaimana menyebutnya. Oh, ya, Desa Kajang yang sebenarnya.

Ilona:
Jadi, kami pergi ke sana dan mengunjungi tempat itu. Aku tidak meminta hal-hal ini, tapi aku merasa sangat beruntung diundang dan dianggap layak mengunjungi tempat-tempat yang begitu istimewa. Aku semakin menyadari bahwa banyak orang yang aku ceritakan tentang pengalaman ini, bahkan belum pernah ke sana, padahal mereka telah tinggal di sini sepanjang hidup mereka. Itu sangat mengejutkan bagiku, dan aku merasa sangat beruntung dan benar-benar diberkati dengan kesempatan untuk terhubung dengan kelompok orang yang luar biasa. Pengalaman ini terus memicu lebih banyak percakapan. Kami bahkan bertemu dengan beberapa pelaut terakhir dari Chepang yang berlayar pada tahun 2019, jika aku tidak salah ingat.

Bahkan jauh sebelum itu, ada beberapa acara di mana orang-orang mencoba berlayar di perahu, dan itu sangat menarik mendengar tentang karakter laut serta perasaan dan pemikiran mereka tentang perjalanan tersebut. Kami terus memikirkan bagaimana kami bisa mengembangkan jenis penceritaan ini dalam sebuah karya pertunjukan, untuk menggabungkan berbagai cara bercerita kami melalui musik. Entah itu bernyanyi, bermain piano, Zima, atau menggunakan Keso Keso, semuanya mulai berkembang dari sana.

Ada lebih banyak seniman yang tertarik, seperti, ya, Syakira, dia seorang penari, dan Agi, dan Shukran juga, dan Mahar. Mahar. Ya.

Kami punya waktu sekitar seminggu lebih untuk benar-benar menciptakan sesuatu, tapi aku ingin menekankan bahwa ini bukan tentang tampil di depan penonton. Ini bukan karya yang ingin aku pamerkan. Ini adalah pertukaran budaya yang sangat berarti bagi diriku. Mengingat konteks dari mana aku berasal, yaitu Australia, di mana terdapat banyak kerusuhan politik dan masalah antara orang Pribumi dan pemerintah kolonial, kami hidup dalam sistem yang terus menindas kami, dan ini bukan tentang pengorbanan.

Aku mencoba menjauh dari hal-hal negatif dan tidak ingin memunculkan pikiran serta perasaan negatif pada orang Pribumi lain ketika mereka melihat karyaku. Aku ingin fokus pada pertukaran positif dan menciptakan karya yang mendorong cinta, penghormatan, dan perayaan. Melihat hubungan ini, aku merasa bahwa itulah inti dari apa yang aku coba lakukan, yaitu menciptakan sesuatu yang bisa dilihat orang dan berkata, “Oh, itu indah,” atau “Itu menceritakan sebuah kisah.” Penceritaan melalui musik dan tari adalah sesuatu yang sangat integral bagi budaya kami.

Aku ingin orang-orang bisa melihat pertunjukanmu dan mengerti apa yang terjadi hanya dari gerakanmu, warna-warna, suara, dan suasana yang kamu ciptakan. Aku ingin karya ini tetap otentik dan benar secara budaya, tetapi juga mencoba mencampur gaya kami dengan cara yang menarik. Inti dari semuanya adalah sebagai pertukaran budaya daripada pertunjukan, karena kami semua terhubung sebagai seniman pada tingkat individu. Aku merasakan keaslian yang muncul dalam semua percakapan dan pengalaman kami bersama dalam latihan, serta saat kami duduk bersama untuk makan, semuanya merupakan bagian dari karya itu sendiri. Jadi, aku tidak khawatir dengan apa yang akan menjadi produk akhirnya, karena seluruh proses adalah karya itu sendiri.

Maaf, itu adalah proses berpikir, sangat panjang.


Menarik! Bagaimana premis tentang pertunjukan ini muncul, atau ‘Sea to See’ ini muncul?

Ilona:
“Sea to See” menurutku adalah istilah yang luas, nama yang luas. Dalam semua percakapanku dengan orang-orang, penelitian, dan mendengar tentang sejarah lisan, cerita-cerita yang dimiliki orang, aku menemukan lebih banyak pertanyaan daripada jawaban. Karena sejarah kolonial di Australia, banyak sejarah lisan dianggap rendah, bukan sebagai bentuk penelitian yang sah. Namun, dalam pandangan Pribumiku, dalam cara berpikir budaya, aku lebih suka mendengar cerita orang daripada membacanya dari buku. Aku suka duduk bersama orang-orang dan mendengar apa yang mereka katakan, terutama jika berkaitan dengan budaya atau pengetahuan Pribumi.

Fakta bahwa lebih banyak pertanyaan muncul adalah sesuatu yang kami biarkan terjadi secara alami, tanpa memaksa. Kami ingin tahu lebih banyak tentang apa yang membuat hubungan kuno ini begitu istimewa dan penting bagi nenek moyang kami, yang telah memelihara dan menjaganya tetap kuat selama lebih dari 500 tahun. Kami mencoba menemukan apa yang membuatnya begitu indah dan berdampak, tetapi pada akhirnya, kami menerima bahwa tidak ada kesimpulan pasti untuk cerita ini.

Aku mencoba menciptakan semacam bab longgar untuk setiap bagian dari pertunjukan. Dimulai dengan rasa ingin tahu, kemudian pertukaran humming yang memicu perjalanan. Dalam perjalanan ini, Shakira menjadi representasi Makassar dan Agi menjadi lautan, membawa kami dalam perjalanan melalui lautan menuju pertemuan di pantai di Australia. Di sana terjadi pertukaran, di mana kami bertukar tari, pandangan, dan hal-hal lainnya. Bagian berikutnya adalah syukur, yang merupakan elemen terpenting dari seluruh karya ini, karena kami selalu bertukar rasa syukur dalam berbagai bentuk dari semua pengalaman dan hadiah yang kami bagikan yang bersifat tidak berwujud.

Hadiah tersebut bukan literal, tetapi berupa pengetahuan, kebijaksanaan, pemberdayaan, dan cinta. Kami ingin terus melanjutkan rasa syukur yang tidak berwujud ini melalui tari. Agi, sebagai lautan, menjadi bagian dari hubungan tiga arah antara Pribumi, Makassar, dan lautan yang menghubungkan kami. Pertunjukan ini terbuka dan tidak memiliki kesimpulan pasti, karena kami masih mencoba membangun kembali apa arti hubungan ini sekarang bagi kami.

Dalam pikiranku, tidak ada kesimpulan, terutama karena kami masih mencoba memahami dan mengembangkan apa hubungan itu sekarang. Jadi, aku tidak tahu apakah ini menjawab pertanyaannya. Maaf jika aku mengoceh.


Oke, jadi… Jadi, sampai sekarang, bagaimana pengalamanmu mengikuti residensi ini? Karena ini pertama kalinya kamu ke sini, datang ke Makassar juga. Bagaimana menurutmu seluruh pengalaman ini, bertemu semua orang ini, bertukar, dan membuka diskusi?

Ilona:
Ini adalah proses pembelajaran yang luar biasa bagiku. Aku belum pernah menjadi orang asing di mana pun, selalu berada di tanah leluhurku. Aku tidak tahu bagaimana rasanya menjadi orang asing, tetapi setelah berada di sini, tidak menjadi pusat komunikasi, aku tidak bisa berbicara bahasa ini, sayangnya. Aku berharap bisa datang ke sini dengan berbicara bahasa yang benar. Aku bersyukur kepada Tuhan atas sahabatku, Azima, yang begitu murah hati menerima dan menghubungkanku, serta melakukan hal-hal praktis bersama. Itu sungguh luar biasa, karena aku tidak tahu apa yang akan aku lakukan tanpa dia.

Pengalaman ini sangat membuka mata dan terkadang cukup menantang. Aku sangat menikmati prosesnya, meskipun mengalami sedikit kejutan budaya di sana-sini, berada di tempat yang benar-benar berbeda dari yang biasanya aku alami. Tantangan ini baik, dan menyadari bahwa ada begitu banyak pengalaman luar biasa di dunia yang sangat berbeda dari apa yang biasanya aku alami.

Aku akan pergi dari pengalaman ini dengan mengetahui bahwa aku memiliki teman-teman yang sangat baik untuk menjaga aku. Ini lebih dari yang aku harapkan, terutama dengan perjalanan kami ke Bulukumba dan Kajang. Itu luar biasa.


Bagaimana menurutmu seluruh pengalamanmu di sini apakah ada yang memengaruhimu secara kesenian untuk kedepannya? Jika ada yang berpengaruh selepasmu dari sini, seberapa jauh menurutmu hal itu terjadi?

Ilona:
Sangat mendalam. Aku merasa telah merindukan sesuatu yang aku temukan begitu terasa alami di sini, yang tidak pernah aku duga itu bisa terjadi.

Seperti yang sudah kukatakan beberapa kali, orang-orang di sini, dan cara kalian duduk dan berbicara berjam-jam, sungguh memikatku dengan bagian budaya di sini. Itu adalah sesuatu yang ingin aku dorong di komunitasku sendiri. Lebih banyak ruang seperti ini di mana kita bisa berkumpul tanpa alkohol, akan lebih baik, karena tampaknya menjadi masalah besar di Australia.

Aku merasa bahwa orang-orang kreatif dengan pikiran yang tenang benar-benar kuat saat bersama-sama, dan aku ingin ada lebih banyak ruang seperti ini. Jadi setelah datang ke sini dan mengalami sendiri, aku merasa sangat terstimulasi. Aku pikir itu bisa menjadi melelahkan dan menakutkan untuk selalu bersama orang-orang, tetapi ini justru memberi aku energi yang tidak aku duga. Hal ini benar-benar mengubah dan memengaruhi aku sampai titik di mana aku ingin mengambil gagasan ini dan mencoba mendorongnya di komunitasku sendiri, untuk memiliki tempat yang serupa.


Hehehe, ya ya. Mungkin ini adalah pertanyaan terakhir. Jadi, adakah semacam harapanmu dari program residensi ini, seperti, mungkin keberlanjutan dari pertukaran budaya antara Australia Barat dan Makassar.

Ilona:
Ya, baiklah. Seperti yang kamu katakan, aku harap ada lebih banyak kontribusi pada hubungan yang sudah ada. Aku tahu bahwa ini harus berubah dalam beberapa hal karena beberapa koneksi telah terbengkalai. Aku tidak mau mengatakan hilang, tapi mereka hanya terasa seperti tidur dan perlu kita bangunkan kembali dengan memberi energi melalui cara yang menarik. Aku pikir banyak dilakukan melalui penelitian atau akademik, tapi yang paling penting menurutku adalah budaya dan seni, adalah hal yang sangat menggembirakan untuk dilihat dan diteliti.

Dan, ya, aku harap ini menjadi kesempatan untuk lebih banyak menemukan hubungan yang benar-benar terbentuk, bukan hanya simbolis. Aku harap ada ruang di mana kita bisa duduk bersama dan memiliki diskusi yang sangat bermakna, biarkan itu terjadi secara alami antara orang-orang. Karena dari situlah semuanya dimulai dan kami sudah membicarakannya. Itu dimulai dari orang-orang, dan harus tetap dimiliki oleh orang-orang, tidak digentrifikasi, dipengaruhi, atau diimpos oleh kontrol oleh institusi dan sejenisnya.

Orang-orang perlu waktu untuk berbicara, menciptakan, dan berkontribusi. Oke, berbicara, menciptakan.

Wow, girl. Aku terdengar seperti duta besar.


Hahahaha, terima kasih Ilona, aku pikir pertanyaanku cukup untuk sekarang.




Editor: Khomeiny Imam

Selamat Kepada Peserta Terpilih SEAScreen Academy 2024

SEAScreen Academy baru saja mengeluarkan pengumuman daftar peserta terpilih pada rabu (1/5) melalui akun instagram resminya. Hasil seleksi tersebut menampilkan dua belas daftar peserta terpilih yang kali ini berasal dari tujuh daerah berbeda yaitu Maumere, Sumbawa, Jambi, Palu, Luwu Timur, Gowa dan Makassar. Kedua belas peserta ini akan didatangkan ke Makassar untuk mengikuti rangkaian program tahap satu yang digelar selama tiga hari. Berikut profil para peserta terpilih SEAScreen Academy 2024:

Dhanny Wijaya Setiawan (Jambi)
adalah seorang penulis naskah dari Jambi, dan telah menjalani petualangan dalam menulis kreatif selama sekitar dua tahun. Dia mengasah keterampilannya di “Tim Penulis Bahagia” dan “Turion Creative”. Sebelum menemukan passion-nya dalam menulis, ia tertarik pada bercerita melalui stand-up comedy.

Dibekali dengan rasa ingin tahu dan dedikasi, Dhanny mengikuti berbagai kelas dan pelatihan yang akhirnya membawanya ke “SCENE”, sebuah program inkubasi oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif pada tahun 2022. Program tersebut membantunya menemukan jalannya dalam berkolaborasi dengan “Turion Creative”. Hasil kolaborasinya, “Langit Tak Berujung”, terpilih sebagai seleksi resmi di JAFF 2023 dan sudah dapat ditonton di Bioskop Online.

Saat ini Dhanny memiliki tiga film pendek dan sebuah mini-seri dalam keranjangnya. Selain film, Dhanny juga peduli pada masalah lingkungan, menunjukkan dukungannya dengan melakukan kampanye untuk mengurangi pemborosan dan kerugian makanan.

M. Alif Wijaya (Makassar)
“Al” Ridwan lahir di Makassar, pada tanggal 19 Agustus 2004, dari ayah Jeneponto dan ibu Gowa. Dia sering mengunjungi pedesaan meskipun sebagian besar hidupnya terjadi di kota. Dia diperkenalkan dengan film melalui DVD bajakan yang diproduksi massal di pasar atau toko sejak usia muda.

Saat ini dia sedang belajar Film dan Televisi di Institut Seni Yogyakarta, ia fokus pada produksi film, penulisan naskah, dan komposisi musik film. Selama studinya, dia telah memproduksi dan menjadi penulis bersama dua film pendek, The Boy Who Dreamed of Lightning dan Kontapati.

Dinul Yakin (Palu)
Seorang penulis dan sutradara, menemukan minatnya dalam dunia film pada tahun 2017 ketika ia mulai terlibat dalam kompetisi FLS2N.

Ketertarikannya dalam pembuatan film semakin meningkat setelah berhasil mengangkat nama-nama daerah ke ajang kompetisi Film Nasional 2P dan mendirikan komunitas pemutaran film yang berfokus pada Sigi yang dikenal dengan nama Todea Cinema.

Eka Putra Nggalu (Maumere)
Lulus dari Institut Filsafat Ledalero, Maumere. Dia adalah salah satu inisiator Komunitas KAHE dan seorang penulis yang juga aktif dalam memproduksi, mengkurasi, dan mengarahkan berbagai jenis media seni, festival, pameran, dan program seni.

Dia belajar menulis dan memproduksi film fiksi dan dokumenter mulai tahun 2019. Karya-karyanya yang telah diterbitkan adalah Miu Mai (sebagai sutradara dan penulis naskah. Diproduksi oleh Viu Short 2019), Seri Dokumenter Kampung Wuring (sebagai produser dan sutradara. Diproduksi oleh Komunitas KAHE & Teater Garasi/Institut Pertunjukan Garasi, didukung oleh VOICE 2021), dan Mimpi Lilian, sebuah web-series (sebagai penulis naskah. Diproduksi oleh Bakti Kominfo 2022).

Erika Rachma Aprilia (Makassar)
Seorang lulusan program studi Multimedia dan Jaringan di Politeknik Negeri Ujung Pandang. Selama masa kuliah, dia pernah membentuk sebuah studio independen bersama teman-temannya untuk belajar dan menciptakan karya-karya audio-visual (2017-2019).

Saat ini, dia aktif sebagai seorang pustakawan di Katakerja. Erika gemar membaca karya sastra klasik, terutama karya-karya dari penulis Rusia. Pengalamannya dalam belajar telah membuatnya tertarik pada isu-isu makanan, perempuan, dan perkotaan.

Feby Ardiatri Pasangka (Luwu Timur)
Lahir di Tadulako pada tahun 1998, adalah lulusan Program Studi Jurnalisme dan Ilmu Komunikasi Universitas Hasanuddin. Pada tahun 2019 dan 2022, ia menjadi alumni dari program Indika Foundation, sebuah yayasan yang berkomitmen untuk memupuk semangat toleransi dan menyebarkan pendidikan perdamaian di Indonesia.

Feby mulai terlibat di Tanahindie dan Biennale Makassar sejak tahun 2021 sebagai peneliti dan pembuat dokumenter. Ia juga melakukan penelitian dan menulis untuk buku “Riwayat Gunung dan Silsilah Laut” yang diterbitkan pada tahun 2023. Di pertengahan tahun 2021, Feby bersama saudara perempuannya, Fibri, menginisiasi sebuah ruang baca untuk anak-anak dan remaja di Tadulako, Luwu Timur.

Yohanes Framlus Hebin Maget (Maumere)
Lahir pada tanggal 13 Desember 1988, telah aktif sejak tahun 2010 dalam pengembangan Teater Vigilantia dengan menulis dan mengarahkan pertunjukan. Dia juga terlibat dalam serangkaian acara Maumerelogia oleh Komunitas KAHE Maumere.

Sejak tahun 2019, dia menjadi instruktur videografi di BLK Komunitas Seminari Bunda Segala Bangsa di Maumere, serta menulis dan mengarahkan film-film pendek seperti; Rindu Rumahmu (2019), Tanpa Kamu (2020), Untuk Mama (2021), Ada Cerita Apa Tahun Ini? (2021), Three Calls (2022), Sophia (2022), Kompesa (2022), dan Sendiri (2023). Film pendeknya yang berjudul “Untuk Mama” meraih Penghargaan Penghargaan dalam ACFFEST 2021 untuk “Cerita Terbaik” sementara film terbarunya, “Sendiri”, mendapatkan penghargaan khusus dalam Festival Film Flobamora 2023. Saat ini, dia menjalani kehidupannya sebagai guru di SMAK St. Maria Monte Carmelo dan mengembangkan Komunitas UGU, dengan fokus pada produksi film pendek.

Ika Mahardika (Makassar)
Lahir di Makassar, dan memulai karya fiksinya yang pertama melalui workshop pembuatan film “Makassar in Cinema” pada tahun 2017, di mana ia berperan sebagai penulis naskah, sutradara, dan editor. Pengalaman ini membawanya pada keyakinan bahwa pembuatan film adalah sesuatu yang ia cintai dalam hidupnya.

Sejak saat itu, Ika mulai bereksperimen dalam pembuatan film. Dia menyutradarai sebuah film dokumenter pendek untuk Festival Film Penulis Internasional Makassar pada tahun 2018 dan 2019, serta belajar membuat film dengan 16mm seluloid dalam Workshop Film “Her Notebook” yang diselenggarakan oleh Lablabalaba & Goethe Institute pada tahun 2019. Saat ini, Ika tinggal di Tomohon, Sulawesi Utara, dan memperluas cintanya yang baru ditemukan dalam hidup sebagai seorang ibu dan ibu rumah tangga.

Nilayanti (Makassar)
Seorang mahasiswa Departemen Ilmu Komunikasi Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar, memiliki minat dalam dunia film yang ia coba salurkan dengan berpartisipasi dalam berbagai acara, kompetisi, dan organisasi.

Selain itu, cintanya terhadap adat dan budaya yang ada di Indonesia bagian timur telah menjadi bentuk dari upayanya untuk terus belajar dan menjaga budaya melalui karyanya. Hal ini memungkinkannya untuk memperkenalkan keanekaragaman budaya, peduli terhadap warisan yang ada, sehingga membuatnya sangat ingin mengambil bagian dalam acara SEAScreen 2024, untuk mendapatkan pengalaman dan pengetahuan baru yang lebih mendalam dalam dunia film dan penulisan.


Harsa Perdana (Sumbawa)
Lahir pada tanggal 14 Januari 2001. Dia tumbuh dan tinggal di lingkungan nelayan, kemudian memulai karir pembuatan filmnya pada tahun 2021 ketika kuliah. Film pertamanya “Selembar Kertas”, terpilih dalam Festival Film Sumbawa ke-3 dan membawanya menjadi aktif dalam komunitas film Sumbawa.

Selama sekitar satu tahun, dia membuat film keduanya, “Sang Punggawa Laut Sumbawa” yang kemudian dianugerahi Penghargaan Elang 2022. Perjalanan film keduanya membawanya ke dunia luar, memperkenalkannya pada pemahaman yang lebih dalam di berbagai festival film, baik nasional maupun internasional.

Ummu Amalia Misbah (Gowa)
Setelah lulus dari Institut Kesenian Jakarta pada tahun 2020 dengan jurusan menulis skenario, dia saat ini bekerja sebagai penulis skenario di salah satu ruang penulis di Jakarta.

Beberapa karyanya dapat dilihat di berbagai media seperti bioskop atau platform OTT. Seperti; Air Mata Di Ujung Sajadah (film) dan Santri Pilihan Bunda (seri). Tidak hanya itu, Ummu juga menulis sebuah novel berjudul Bukan Salah Hujan, diterbitkan oleh Grasindo dan telah menjadi best seller sejak tahun 2018. Hingga saat ini, Ummu tinggal di Jakarta dan kadang-kadang kembali ke Gowa, kampung halamannya.

Muhammad Sabiq (Makassar)
Lahir pada 27 Juni 1992, adalah seorang pelawak dan penulis dari Kabupaten Bone. Dia lulus dengan gelar sarjana dan magister dari Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim, Malang.

Sebagai seorang penulis, Sabiq, seperti yang biasa dipanggil, telah menerbitkan beberapa karya tulis, termasuk Suara Kayu (2012), Malabar (2015), dan Merbabu (2017), serta sebuah kumpulan cerita pendek komedi gelap Begini Dosa Begitu Dosa (2023). Selain menulis, Sabiq juga terlibat dalam produksi film pendek, menggunakan platform seperti Instagram untuk bereksperimen dengan narasi visual. Keterlibatannya dalam dunia film menunjukkan perluasan bakatnya dari panggung komedi ke ranah film, seperti dalam seri Cek Toko Sebelah: Babak Baru (2022), Pulang Tak Harus Rumah (2024), dan Keluar Main1994 (2024).

SEAScreen Academy tahap satu akan segera dimulai pada pekan depan tanggal 22 Mei mendatang. Para peserta terpilih akan segera mengikuti rangkaian agenda yang dilaksanakan selama tiga hari. Salah satu program yang akan mengawali agenda SEAScreen Academy 2024 adalah MasterClass: South East Asian Film Now, yang merupakan rangkaian dari kegiatan kepenulisan film yang berfokus pada penceritaan nilai lokalitas. Kegiatan ini membincangkan pengalaman, refleksi dan berbagai sudut pandang dari para pelaku industri film Asia Tenggara mengenai bagaimana mereka membawa unsur budaya atau lokalitas dalam produksinya, tanpa melupakan relevansi dengan isu global saat ini.

Arsip Perjalanan MIWF Bersama Jokpin

“MIWF itu sangat keren dan membuat kangen. Lebih dari sekadar festival sastra. Ia sudah menjadi perayaan seni dan literasi. Saya terkesan dengan layanan panitia yang ramah dan selalu siap sedia; sajian bermacam-macam acara yang menarik dan inspiratif; pertunjukan seni yang bermutu dan menghibur; partisipasi dan gairah masyarakat (khususnya kaum muda) yang luar biasa; tempat yang lapang dan nyaman; kerja keras penyelenggara yang penuh dedikasi; dan tentu saja keseluruhan suasana yang hangat dan damai”

Joko Pinurbo, Sastrawan

Mungkin saja, MIWF yang sedemikian bertumbuh, akan terasa begitu biasa saja, atau bisa jadi datar dan dingin, jika saja entitas seorang Jokpin yang rendah hati dan sederhana itu tak pernah ada di daftar meja-meja diskusi atau mimbar-mimbar puisi MIWF. Mungkin saja, mereka yang beramai-ramai mendatangi MIWF, tidak akan menjadi seantusias kini, jika saja nama Joko Pinurbo tidak pernah muncul dalam deretan agenda tahun-tahun MIWF digelar. Atau mungkin, ekspektasi tentang MIWF tidak akan se-euforik ini jika penyair besar bernama lengkap Philipus Joko Pinurbo itu enggan menerbitkan karya-karyanya. Bahkan mungkin, panggung puisi Indonesia hari ini akan menjadi begitu menegangkan perihal membicarakan keseriusan hidup, jika saja Joko Pinurbo tidak pernah benar-benar menjadi sastrawan.

Ketika membaca sajak-sajak Jokpin, kita seperti menelan kegetiran yang demikian jenaka, yang dirangkai dengan apik, ciamik dan begitu menggelitik. Setelah kepergiannya, penyair Aan Mansyur bahkan berikrar akan menunaikan janjinya tujuh tahun lalu untuk menulis puisi berjudul ‘Joke Pinurbo’. Sastrawan satu ini memang benar-benar membuat orang-orang terkesan dengan karya-karyanya yang begitu fantastis menjungkirbalikkan realitas hidup melalui kerangka sajak.

Sajaknya yang berjudul ”Celana, 1”, ia tulis tahun 1996, Jokpin menjadikan celana untuk membicarakan kerinduan seorang anak pada sang ibu:

Ia ingin membeli celana baru

buat pergi ke pesta

supaya tampak lebih tampan

dan meyakinkan.

Ia telah mencoba seratus model celana di berbagai toko busana

namun tak menemukan satu pun yang cocok untuknya.

Bahkan di depan pramuniaga

yang merubung dan membujuk-bujuknya

ia malah mencopot celananya sendiri

dan mencampakkannya.

“Kalian tidak tahu ya

aku sedang mencari celana

yang paling pas dan pantas

buat nampang di kuburan.”

Lalu ia ngacir

tanpa celana

dan berkelana

mencari kubur ibunya

hanya untuk menanyakan:

”Ibu, kausimpan di mana celana lucu
yang kupakai waktu bayi dulu?”

Salah satu sajaknya yang pernah ia bacakan di panggung MIWF (2017), ‘Langkah-langkah Menulis Puisi’:

Langkah-langkah menulis puisi:

Langkah pertama, duduk

Langkah ke dua, duduklah dengan tenang

Langkah ke tiga, duduklah dengan tenang di atas batu

Langkah ketiga, duduklah dengan tenang di atas batu

Langkah ke empat, duduklah dengan tenang di atas batu yang kelak akan jadi batu nisanmu

Langkah ke lima, duduklah dengan tenang di atas batu yang kelak akan jadi batu nisanmu sambil membaca

Langkah ke enam, duduklah dengan tenang di atas batu yang kelak akan jadi batu nisanmu sambil membaca Pramodya, ‘Hidup sungguh sederhana, yang hebat-hebat hanya tafsirannya’

Sebelum berpisah dengan MIWF, agenda terakhir Jokpin begitu menyenangkan dan meninggalkan kesan cukup dalam bagi penggemarnya. Memang kehadiran Jokpin di MIWF selalu membuat orang-orang bersemangat untuk datang dan menyimak tiap-tiap agendanya, sehingga ruangan atau tempat diskusi menjadi begitu ramai. Jokpin pertama kali diundang ke MIWF pada tahun 2013. Beberapa orang yang menghadiri MIWF di tahun-tahun Jokpin dihadirkan tentu mempunyai kemungkinan ingatan tentang bagaimana sosok beliau. Berikut arsip tahun-tahun perjalanan MIWF bersama Jokpin:

MIWF 2013 – Jokpin mulai terlibat di MIWF pada tahun 2013, yang diawali dengan hadir sebagai pembicara yang membuka percakapan seputar proses kepenyairannya.

“Diskusi puisi bersama Jokpin. Acara dipandu oleh M. Aan Mansyur dan ruangan dipenuhi oleh para peserta diskusi. Antusiasme peserta tampak sejak awal Aan membuka sesi tanya-jawab. Pada sesi tersebut, Jokpin berkisah tentang riwayat kepenyairannya. Bagaimana ia mulai belajar mengarang puisi, proses kreatif yang ia lakukan, dan hal-hal lain yang memberi banyak sekali pencerahan serta inspirasi bagi saya sendiri.” – Bernard Batubara dalam catatan perjalanannya di MIWF 2013 bersama Jokpin.

Jokpin makan malam bersama para penulis MIWF (Arsip MIWF 2013)
Jokpin bersama Aan Mansyur dalam percakapan menceritakan proses kepenyairannya


MIWF 2016 – Jokpin hadir dan mengisi tiga agenda berbeda selama tiga hari. Dua di antaranya agenda diskusi dan membacakan puisi.

Workshop: The Essential Things in Poetry bersama Marius Hulpe dan Alia Gabres
Peluncuran Buku “Sayembara Tebu” bersama Faisal Oddang dan Jamil Massa (Arsip MIWF 2016)
Jokpin (Arsip MIWF 2016)


MIWF 2017 – Selain hadir untuk membacakan puisinya di panggung Under Poetic Stars, Jokpin juga menemani Sapardi sebagai host dalam agenda In Conversation with Sapardi Djoko Damono.

Jokpin Membacakan Puisi di Under Poetic Stars (Arsip MIWF 2017)
Jokpin & Sapardi saat In Conversation with Sapardi Djoko Damono (Arsip twitter.com/shintafebrianys)


MIWF 2019 – Jokpin hadir mengisi dua agenda diskusi, ‘Dunia Sastra Tak Kenal Minoritas/Mayoritas’ dan peluncuran bukunya ‘Srimenanti’ bersama Aan Mansyur.

Jokpin membaca puisi ‘Baju Bulan’ di malam Under The Poetic Star (Arsip MIWF 2019)
Peluncuran Buku Srimenanti Joko Pinurbo, dimoderatori oleh Aan Mansyur (Arsip MIWF 2019)



MIWF 2023 – Di MIWF terakhirnya, Jokpin mengisi rangkaian agenda yang cukup padat. Di hari pertama kedatangan, paginya Jokpin sudah bertemu dengan 5 penggemarnya dalam ‘On the Table: Poem, Breakfast Bersama Joko Pinurbo’, kemudian dilanjutkan saat sore dengan ‘Launching Buku: Rukun Ranah’ bersama Mosyuki Borhan dan pemandu Shinta Febriany, dan tentu saja malamnya Beliau mengisi panggung Under Poetic Stars dengan puisi-puisinya. Kemudian besok, Jokpin hadir sebagai pembicara pada agenda diskusi ‘Interfaith: Solidaritas dan Keberagaman’ bersama Theoresia Rumthe, Mosyuki Borhan dan dipandu oleh Aan Mansyur. Sayangnya Jokpin harus kembali ke Jogja sebelum hari puncak MIWF tiba.

*’On the Table: Poem, Breakfast Bersama Joko Pinurbo’

*’Launching Buku: Rukun Ranah’

*’Under Poetic Stars’

*’Interfaith: Solidaritas dan Keberagaman’

Joko Pinurbo adalah salah satu sastrawan terbaik yang pernah dimiliki tanah air yang telah menjadi abadi dalam karya-karyanya, di antara mereka yang pernah hadir di MIWF dan pernah saling berbagi nilai. Kepada mereka yang telah berpulang: Alm. Ahmad Nirwan Asuka, Alm. Sapardi Djokodamono, Alm. Chalvin Papilaya (Emerging Writers MIWF 2016), Almh. Lily Yulianti Farid dan Alm. Joko Pinurbo, terima kasih.

‘Roots’: SEAScreen Academy 2024

Setelah jeda beberapa tahun, salah satu program unggulan dari Rumata’ ArtSpace, South East Asian Academy (SEAScreen Academy) kembali membentangkan layarnya di tahun ini. Melalui pengumuman Open Call yang dirilis pada tanggal 29 Maret lalu lewat akun Instagram resminya, SEAScreen Academy 2024 kembali dibuka.

SEAScreen Academy merupakan program pelatihan dan pengembangan film yang diprakarsai oleh sutradara film Riri Riza dan Rumata ’ArtSpace. Pertama kali digelar pada tahun 2012, SEAScreen menjadi agenda yang digelar tahunan sampai pada tahun 2018 dan satu edisi daring di tahun 2020. Program ini mencakup rangkaian agenda yang dikemas mulai dari pelatihan intensif tentang perfilman, seperti pertemuan kelas, lokakarya/workshop, pemutaran hingga produksi film. Diikuti oleh sineas-sineas muda dari Indonesia timur yang terpilih sebagai peserta dan didampingi oleh para praktisi film terbaik dari Asia Tenggara.

SEAScreen kali ini hadir dengan mengusung tema “Roots” atau ‘akar’ yang menggambarkan komitmen untuk menjelajahi dan merangkul akar budaya yang ada di Indonesia Timur, sekaligus mencakup semangat untuk menggali dan menghargai asal-usul, sejarah dan nilai-nilai yang melandasi cerita-cerita film. Selain mengangkat ‘akar’ sebagai tema, SEAScreen juga datang dengan konsep pelatihan yang diberi nama ‘Story Camp’, sebuah grup belajar di mana peserta akan didampingi oleh para mentor dari praktisi film terkemuka Asia Tenggara dengan rangkaian agenda diskursus tentang perfilman, mulai diskusi, lokakarya sampai masterclass dan lainnya, di mana grup belajar ini juga merupakan proyeksi sebuah forum yang berupaya membuka dialog seputar isu-isu terkini perfilman di Asia Tenggara.

Profil para mentor yang akan mendampingi peserta SEAScreen 2024 baru saja diumumkan. Mereka adalah Amanda Nell Eu (Director & Scriptwriter), Prima Rusdi (Scriptwriter), Chalida Uabumrungjit (Archivist), Yandy Laurens (Director & Scriptwriter), Andi Burhamzah (Director) dan Hannah Al Rashid (Actress).

Tentu saja kembalinya SEAScreen di tahun 2024 ini menjadi angin segar bagi sineas muda khususnya di wilayah Indonesia timur. Melihat di tengah derasnya ide-ide dan semangat berkarya yang terus bermunculan, SEAScreen menjadi wadah yang tepat bagi sineas muda untuk mengembangkan bakat perfilman mereka.

Peserta terpilih SEAScreen Academy 2024 akan diumumkan pada tanggal 1 Mei mendatang. Ikuti terus keberlanjutan SEAScreen Academy 2024 melalui akun Instagram SEAScreen Academy.

Kabar Residensi Dari Breeze: Makassar-Perth

Kabar baik baru saja datang dari Perth Institute of Contemporary Art (PICA). Andi Nur Azimah telah tiba di kota Perth, Australia Barat pada Selasa (17/4).

Azimah adalah seniman residensi pertama dari Makassar yang terpilih dalam program pertukaran seniman Breeze: Makassar-Perth. Selama berada di Perth, Azimah akan mengeksplorasi hubungan tentang musik dan penceritaan antara orang Makassar dan Aborigin, sebagai upaya merawat hubungan yang telah terjalin empat abad silam.

Breeze: Makassar-Perth adalah program pertukaran seniman yang dicanangkan oleh PICA, bekerja sama dengan Rumata’ ArtSpace dan Universitas Negeri Makassar, serta didukung oleh Project Eleven. Program residensi ini membuka kesempatan bagi seniman untuk menjelajahi petualangan artistik dan mengembangkan hubungan budaya antara Australia Barat dan Makassar.

Bagi kamu seniman Makassar yang tertarik mengikuti residensi lintas benua bersama PICA, kesempatan ini juga bisa kamu dapatkan melalui Open Call selanjutnya. Pantau terus informasi mengenai perkembangan program Breeze: Makassar-Perth melalui akun instagram dan website Rumata’ ArtSpace.

Berkenalan Dengan Emerging Writers MIWF 2024

Selamat kepada para penulis yang telah ditetapkan oleh tim kurator MIWF 2024 sebagai Emerging Writers tahun ini. Pengumuman penulis terpilih tahun ini cukup penuh dengan kejutan. Nama-nama terpilih sebagai Emerging Writers MIWF 2024, ternyata tidak hanya lima orang seperti yang diumumkan sebelumnya, tetapi tujuh!

Mari berkenalan dengan tujuh Emerging Writers yang akan meramaikan panggung MIWF 2024 di bulan Mei ini.

Julia F. Gerhani Arungan
(Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat)

Lahir di Lombok, 1982. Menulis puisi, cerita pendek, dan naskah drama. Sejumlah puisinya masuk dalam bunga rampai Seratus Penyair Perempuan (KPPI, 2014), Dari Negeri Poci 5: Negeri Langit (Komunitas Radja Ketjil, 2014), Taman Pitanggang (Akarpohon, 2015), dan Ibu (Antologi Kata, 2019). Menulis antologi puisi tunggal Ibuku Mengajari Bagaimana Mengisi Peluru (CV Halaman Indonesia dan Akarpohon, 2021). Sekarang bermukim di Sandik, Lombok Barat.

Nuraisah Maulida Adnani
(Mataram, Nusa Tenggara Barat)

Nuraisah Maulida Adnani lahir di Tulungagung, Jawa Timur, 27 Januari 2001. Alumnus Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP, Universitas Mataram. Cerpen-cerpennya dimuat di berbagai media, baik online mau pun cetak. Saat ini bergiat di komunitas Akarpohon, juga mengelola perpustakaan Teman Baca, Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat.

Varla R. Dhewiyanti
(Kubu Raya, Kalimantan Barat)

Penulis asal Kalimantan Barat, karya-karyanya banyak berbicara tentang isu kesehatan mental. Mulai menulis sejak bangku SMP, cerpen pertamanya Awan Kelinci terbit di majalah Bobo. Salah satu artikelnya tentang pengalaman berkunjung ke Kecamatan Selimbau, Kabupaten Kapuas Hulu dimuat Majalah Femina. Cerpennya berjudul Timi Mengenakan Senyum masuk 10 besar pemenang Sayembara Cerita Kesehatan Mental “Nuraga” yang diadakan Penerbit Sekala Kecil dan Rumah dengan Telinga dimuat dalam Antologi Bersama “Rahasia Keluarga” Vol.2 – Okky Madasari dan Alumni OM Institute. Karyanya yang lain juga mengangkat tema sama berjudul Pernikahan, Pasta Gigi, dan Kalimat-Kalimat Panjang yang Memusingkan.

Yuan Jonta
(Manggarai, Nusa Tenggara Timur)

Yuan Jonta adalah alumni Psikologi Universitas Sanata Dharma yang tinggal di Ruteng, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur. Dia juga seorang pegawai negeri sipil di Pemkab Manggarai yang aktif bergiat bersama Klub Buku Petra Ruteng. Beberapa cerpennya pernah dimuat di Bacapetra, Tempo, dan Kompas. Pada Tahun 2023, Yuan Jonta menjadi salah satu peserta terpilih dalam Sayembara Pembaca Flores Writers Festival.

Dunstan Obe
(Kupang, Nusa Tenggara Timur)

Lahir di Dili, 19 Mei 1998. Menulis puisi, esai, dan kritik sastra. Karya-karyanya telah disiarkan di sejumlah media cetak dan daring. Bergiat di Komunitas Sastra Dusun Flobamora, Kupang. Ia terpilih sebagai salah satu pemenang Sayembara Membaca Flores Writers Festival (2021). Alumnus Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Katolik Widya Mandira.

Novan Leany
(Samarinda, Kalimantan Timur)

Asal Samarinda, Kalimantan Timur. Pegiat seni dan pencinta kopi. Telah menerbitkan buku pertamanya “Eufolina” pada tahun 2019. Puisi-puisinya pernah tayang di berbagai media massa, antara lain Koran Tempo, Mata Puisi, Koran Sumbar dan Beritabaru.co. Kini bergiat di komunitas Macandahan. Dalam waktu terdekat pula sedang berproses untuk persiapan buku antologi puisi keduanya dan sekarang menetap di Yogyakarta melanjutkan pendidikan studi S2 psikologi.

Andi Batara Al Isra
(Makassar, Sulawesi Selatan)

Andi Batara Al Isra menyelesaikan program sarjana di bidang Antropologi, Universitas Hasanuddin dan melanjutkan studinya ke jenjang master di the University of Auckland, New Zealand dengan jurusan yang sama. Selain menulis artikel jurnal dan laporan penelitian, Batara juga menulis cerpen dan puisi. Cerpennya berjudul “Mengenang Padewakkang” diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris oleh Dalang Publishing, sebuah penerbit yang berbasis di Californa. Buku solo pertamanya adalah kumpulan puisi “Di Seberang Gelombang” (2019). Saat ini, dia aktif sebagai dosen di Departemen Antropologi Unhas dan sebagai peneliti juga editor di Yayasan Antropos Indonesia. Batara dan tim Antropos baru saja menerbitkan buku tentangRumata’ Dua Belas Tahun Membangun Kebudayaan.

Tim 7 Diskusi Soal Strategi dan Taktik di Rumata’ ArtSpace

Pada Selasa (5/3/2024), teman-teman kolektif Tim 7 mengadakan diskusi perihal Strategi dan Taktik di Rumata’ Art Space. Diskusi dengan judul “Jalan Setapak Tak Bertuan” ini dihantarkan oleh Ryan Akmal Suryadi yang merupakan salah satu anggota Tim 7.

Bermula di Kota Makassar pada 2022 lalu, Tim 7 berkomitmen untuk membuka ruang transformasi pengetahuan yang bisa diakses oleh siapa saja. Tim 7 sedang berupaya menapaki jalan setapak dalam rangka merawat cita-cita akan ‘gagasan hidup bersama’, sebuah imajinasi tentang hidup dengan prinsip kesetaraan bagi semua.

Melalui diskusi yang diikuti sekitar dua puluh peserta dari berbagai latar belakang ini, diharapkan mampu menjadi wadah untuk merancang strategi dan taktik yang sesuai dengan konteks masing-masing. Menurut Ryan, alasan diskusi ini diberi judul “Jalan Setapak Tak Bertuan” oleh Tim 7 karena isinya seumpama jalan setapak yang tidak bertuan, artinya tidak ada blueprint soal teknis strategis seperti apa.

“karena strategi dan taktik yang isinya sebenarnya itu ya, perumpama (seumpama) jalan setapak begitu, yang tidak bertuan karena tidak ada blueprint soal teknis strategis seperti apa, mesti disesuaikan dengan konteks masing-masing, makanya itu framing materinya (makanya) itu jadi perihal merancang strategi dan taktik. gerakan, (seperti itu),” kata Ryan saat diwawancarai (5/3/2024).

Kegiatan serupa diskusi seperti ini telah dilakukan Tim 7 di beberapa komunitas, kolektif di Kota Makassar, termasuk Rumata’ Art Space.

“Sebelum ke Rumata’ Art Space, Tim 7 juga sudah melaksanakan agenda diskusi juga sama beberapa kegiatan di beberapa komunitas, kolektif di Kota Makassar. Kata Kerja, Riwanua, Kampung Buku, Siku Ruang Terpadu, dan Pemeriksaan Kesehatan Gratis di Bara Baraya. Ini titik keenam di Rumata’ Art Space sekaligus hari terakhir,” jawab Ryan.

Rumata’ Art Space menjadi salah satu pilihan untuk dijadikan lokasi berlangsungnya diskusi tidak luput dari komitmen yang dibawa bersama tentang pengembangan ilmu pengetahuan dan karya, khususnya di bidang literasi. Selain itu, Rumata’ Art Space juga merupakan jaringan strategis sekaligus wadah penghubung bagi banyak komunitas dan masyarakat.

“Kenapa Rumata’ karena Rumata’ itu menurut Tim 7 salah satu jaringan strategis ya, menurutnya Tim 7 punya irisan pada frekuensi pengembangan ilmu pengetahuan dan karya, begitu, literasi khususnya (seperti itu),” tutup Ryan.

Merawat Bahasa Daerah, BASAsulsel Wiki dan BASAkalimantan Wiki Meluncurkan Kamus Digital Bahasa Makassar dan Banjar

Jakarta – Setelah 10 tahun mengembangkan kamus digital Bahasa Bali, di tahun 2024 BASAibu Wiki kembali meluncurkan 2 kamus sekaligus, yakni Bahasa Makassar dan Banjar, yang dikembangkan dan dikelola oleh BASAsulsel Wiki bersama mitra komunitas Rumata’ ArtSpace, dan BASAkalimantan yang berkolaborasi dengan Komunitas Akademi Bangku Panjang Minggu Raya (ABPM) dan Sanggar Belajar Mahabbatun Nabi Barambai di Kalimantan Selatan.

Kamus digital bahasa daerah Makassar dan Banjar tersebut resmi diluncurkan secara hybrid di @america Pacific Place Mall Lantai 3 #325 Jl. Jendral Sudirman, Jakarta, pada Kamis (8/03/2023).

Agenda peluncuran itu berjalan dengan rangkaian acara berupa diskusi tentang Bahasa Daerah yang diisi oleh narasumber Drs. I Gde Nala Antara, M.Hum. (BASAibu Wiki), Putu Eka Gunayasa (BASAbali Wiki), Ita Ibnu (BASAsulsel Wiki), dan Hudan Nur (BASAkalimantan Wiki). Adapun lomba bagi para hadirin yang ada di Jakarta maupun di Makassar. Acara tersebut semakin meriah dengan diramaikan oleh performance dari rapper Jflow yang mengajak para hadirin untuk memberikan sepatah kata dalam Bahasa Daerah yang kemudian dijadikan sebagai materi di lirik lagu dan dimainkan pada saat itu juga.

Dilansir dari SHNet, Hudan Nur, pegiat literasi dari BASAkalimantan Wiki mengatakan, BASAkalimantan Wiki merupakan terobosan mutakhir, dan digitalisasi Bahasa Banjar berbasis wiki adalah upaya merawat Bahasa Daerah yang hampir punah.

“Bahasa Banjar secara nyata menjadi ‘lingua franca’, bahasa yang acap dipakai sebagai penghubung antara Banjar dengan Dayak (selaku penduduk asli Kalimantan),” pungkas Hudan, yang aktif berkegiatan literasi di Kalimantan Selatan.

Penjelasan juga datang dari Managing Director BASAbali Wiki, Putu Eka Guna Yasa soal alasan mengapa bahasa Makassar bisa terpilih. Menurutnya karena penuturnya relatif besar, sehingga langkah digitalisasi merupakan upaya yang tepat agar penutur asli dapat mendokumentasikan warisan bahasa mereka melalui platform digital kreatif.

Guna Yasa juga menjelaskan terkait bahasa Banjar, menurutnya BASAkalimantan Wiki merupakan langkah yang penting merujuk pada lokasinya yang akan berdekatan dengan Ibu Kota Nusantara. “Kita tahu ada ibu kota negara Nusantara yang dibangun di Kalimantan. Oleh sebab itu, bahasa yang penting di Kalimantan adalah bahasa Banjar,” tuturnya.

Ita Ibnu, sebagai pengelola BASAsulsel Wiki mengungkapkan bagaimana kaum muda di Makassar merespons isu-isu sosial di masyarakat  dengan Bahasa daerah. “Kita kolaborasi dengan Balai Bahasa dan alhamdulillah sudah ada kamus digital,” pungkasnya.

Kekuatan Bahasa Daerah

Acara peluncuran itu juga dihadiri oleh sutradara dan penulis skenario kelahiran Makassar, Riri Riza, yang ikut berpatisipasi dalam upaya merawat bahasa daerah yang menurutnya sangat penting untuk dilestarikan.

‘Bahasa daerah bisa menjadi kekuatan ketika semua hal berkembang secara generik”

“Kota Makassar sangat dinamis baik dalam bidang seni, budaya, dan juga film. Ada sejumlah film lokal yang hanya diputar di sana,” tuturnya.

Selain peluncuran kamus digital, kabar baik juga datang bagi BASAsulsel Wiki dan mitra pengelolanya Rumata’ ArtSpace yang mendapatkan dukungan penuh dari Kedutaan Besar Amerika Serikat melalui U.S Ambassador’s Fund for Cultural Preservation (AFCP) yang akan berjalan hingga tahun 2025 mendatang untuk mengembangkan kamus digital Bahasa Makassar.

Kini, kamus digital Bahasa Makassar telah tersedia dan bisa kunjungi di website BASAsulsel Wiki basasulselwiki.org

Kunjungan Kedutaan dan Konsulat Jenderal Amerika ke Rumata’

Foto bersama usai agenda kunjungan: (tengah kiri) Abraham Y. Lee, (tengah kanan) Joshua Shen, (kanan) Christian N. Simanullang

Pada Senin pagi (5/2/24) Rumata’ ArtSpace kedatangan kunjungan dari perwakilan Kedutaan Besar Amerika Serikat dari Jakarta, Deputy Cultural Attace’ Abraham Y. Lee dan Konsulat Jenderal Amerika Serikat dari Surabaya Joshua Shen bersama Information Resource Center Director Christian N. Simanullang di Makassar.

Kunjungan tersebut bertujuan membahas potensi kerja sama antara Rumata’ ArtSpace dan Kedutaan Besar Amerika Serikat perihal penyediaan wadah informasi berupa American Corner dan Education USA atau layanan konsultasi pendidikan Amerika Serikat di Rumata’ ArtSpace. Kedatangan itu disambut baik oleh Rachmat Mustamin, Itha Ibnu dan Ifdhal Ibnu selaku perwakilan Rumata’.

Pihak Kedutaan saat berkeliling di dalam area kantor dan galeri

American Corner merupakan program kerja sama antara Kedutaan Besar Amerika Serikat dengan Indonesia yang saat ini sedang berjalan di beberapa universitas yang tersebar di seluruh Indonesia, yang dibentuk sebagai wadah informasi berupa pendidikan, politik, budaya, dan hal lainnya mengenai Amerika Serikat. Biasanya wadah tersebut dipenuhi oleh banyak jenis buku yang bisa dijadikan sebagai sumber untuk mengenal tentang Amerika Serikat atau agenda-agenda volunteering dan program-program yang beragam seperti bedah beasiswa, bedah budaya, diskusi, dan hal-hal lainnya.

Obrolan hangat bersama pihak Kedutaan di halaman belakang Rumata’

Rumata’ menjadi salah satu pilihan kerja sama sebab dinilai merupakan wadah penghubung bagi banyak komunitas dan masyarakat untuk saling bertemu dan berbagi banyak hal dalam seni dan kebudayaan di Kota Makassar. Pertemuan itu berlangsung hangat di halaman belakang yang ditemani beragam obrolan dengan kopi dan kue-kue khas Makassar.

Peluncuran Kamus Digital BASAsulsel Wiki dan BASAkalimantan Wiki oleh BASAibu Wiki & The U.S. Ambassadors Fund for Cultural Preservation (AFCP) – Kedutaan Besar Amerika di Jakarta

Hasil kajian kebahasaan yang dilakukan oleh Badan Bahasa setiap tahun menunjukkan adanya kekhawatiran besar yang melanda bangsa ini, yakni terdapat delapan bahasa dikategorikan punah, lima bahasa kritis, 24 bahasa terancam punah, 12 bahasa mengalami kemunduran, 24 bahasa dalam kondisi rentan (stabil tetapi terancam punah), dan 21 bahasa berstatus aman. Punahnya bahasa daerah di era globalisasi ini merupakan permasalahan serius ini, agar warisan budaya tak benda ini tidak hilang perlahan ditelan masa diperlukan upaya kolaboratif untuk merawat bahasa daerah. 

BASAibu Wiki adalah organisasi yang mendorong kaum muda untuk menyuarakan pendapat mereka melalui platform digital dalam bahasa ibu atau bahasa lokal yang diinisiasi dan diorganisir oleh BASAbali. ​​BASAibu memperkuat peran kaum muda untuk mengatasi masalah-masalah kewarganegaraan dengan pemerintah melalui platform digital yang dikembangkan oleh masyarakat dalam bahasa daerah sekaligus memperkuat penggunaan bahasa-bahasa tersebut. Dengan dukungan dari berbagai pihak, inisiatif ini direplikasi di daerah lain. Salah satunya di Sulawesi Selatan, yang disebut BASAsulsel Wiki pada tahun 2020, berkolaborasi dengan mitra lokal Rumata’ Art Space. Satu lagi di Kalimantan, bernama BASAkalimantan Wiki berkolaborasi dengan Akademi Bangku Panjang Minggu Raya (ABPM) dan Sanggar Belajar Mahabbatun Nabi Barambai di Kalimantan Selatan. Replikasi pengembangan kamus digital BASAsulsel Wiki dan BASAkalimantan Wiki merupakan dukungan The U.S. Ambassadors Fund for Cultural Preservation (AFCP) dari Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta yang berjalan selama 2 tahun (2023-2025). Untuk mendapatkan informasi tentang BASAsulsel Wiki dan BASAbali Wiki dapat mengunjungi basasulselwiki.org dan basabaliwiki.org 

Aspek unik dari kamus ini adalah bahwa kamus ini diproduksi bersama oleh masyarakat. Masyarakat diundang untuk mengirimkan contoh kalimat dalam bentuk teks dan video yang menggunakan kata-kata dalam konteks, sehingga kamus ini menjadi hidup dengan penggunaan aktual yang digunakan oleh orang-orang yang sebenarnya seperti yang mereka ucapkan saat ini. Kompetisi berkala (“Wikithons”) mendorong generasi muda untuk berpartisipasi dalam mengembangkan sumber daya gratis ini untuk komunitas lokal dan dunia yang lebih luas.

Inisiatif ini mencoba mendorong keterlibatan aktif generasi muda dalam menggunakan bahasa daerah dengan mengembangkan kamus digital bahasa Makassar di BASAsulsel Wiki dan bahasa Banjar di BASAkalimantan Wiki. Program yang rencananya akan dilaksanakan dalam 2 tahun (2023-2025) ini bertujuan untuk memberdayakan masyarakat untuk menggunakan berbagai bahasa daerah di dunia digital modern. Platform ini membantu masyarakat untuk melindungi dan memperkuat bahasa mereka dengan cara-cara yang penting bagi mereka, dengan memanfaatkan teks-teks tradisional, literatur, media sosial, ritual, tradisi lisan, dan percakapan sehari-hari. Tutorial membuat akun di BASASulsel Wiki kunjungi tautan  …..

Untuk itu BASAibu Wiki akan melaksanakan Peluncuran Kamus Digital BASASulsel Wiki dan BASAkalimantan Wiki yang dilaksanakan secara luring pada: 


Hari/Tanggal : Kamis, 7 Maret 2024
Waktu : Pukul 16.00 – 18.00 WIB (Agenda terlampir)
Tempat : @america Pacific Place Mall 3rd floor #325 Jl. Jendral Sudirman, Kav.52-53 Kebayoran Baru, South Jakarta, 12190

Registrasi melalui tautan  

Panitia menyediakan penggantian transportasi dan E Sertifikat. 

Tujuan

  1. Memperkenalkan serta mempromosikan kamus digital BASASulsel Wiki dan BASAkalimantan Wiki kepada stakeholder di tingkat nasional. 
  2. Membangun kerja sama baru dan peluang kolaborasi dengan stakeholders di tingkat nasional dalam pemanfaatan kamus digital BASASulsel Wiki dan BASAkalimantan Wiki
  3. Melaksanakan Wikithon Kamus Digital BASAsulsel Wiki

Output

  1. Eksposur Kamus digital BASASulsel Wiki dan BASAkalimantan Wiki kepada stakeholder di tingkat nasional. 
  2. Kerja sama dan peluang kolaborasi dengan stakeholders di tingkat nasional dalam pemanfaatan kamus digital BASASulsel Wiki dan BASAkalimantan Wiki
  3. Wikithon Kamus Digital BASAsulsel Wiki

Narahubung: Aqram +62-831-3801-1402 (Teks Whatsapp)