Residensi Lintas Benua di Rumata’: Sherry Quiambao

Selama residensi di Rumata’ Artspace, Sherry Quiambao akan mengembangkan proyeknya yang berjudul Horizon: Habitat, yang mengeksplorasi air sebagai metafora untuk fluiditas identitas budaya dan migrasi. Berdasarkan pengalamannya sebagai generasi kedua dari Filipina/Australia, ia akan meneliti bagaimana aspirasi material dan konsumerisme membentuk identitas dan rasa memiliki. Di Makassar–kota yang sangat dipengaruhi oleh hubungannya dengan air, migrasi, dan perdagangan–Quiambao akan meneliti tentang dampak lingkungan dan budaya dari konsumerisme, dengan menarik kesejajaran antara hubunganya dengan Makassar, Perth, dan Filipina.

Bersama dengan Aziziah Diah Aprilya, residensi Sherry Quiambao menjadi bagian dari tahun kedua BREEZE, sebuah inisiatif kolaboratif antara PICA, Rumata’ Artspace, dan Universitas Negeri Makassar.

Sherry Quiambao adalah seniman multidisiplin keturunan Filipina, lahir dan dibesarkan di Australia Barat. Ia mengeksplorasi hubungan antara benda-benda yang ditemukan, ingatan, warisan budaya, dan konsumerisme. Melalui fotografi, patung dan instalasi, ia mengajak pemirsa untuk mempertimbangkan kembali hubungan mereka dengan benda-benda dan dampaknya terhadap citra diri dan status. Karyanya sering mengangkat tema identitas, kepemilikan, dan persinggungan antara budaya dan konsumerisme. Ia meraih gelar Sarjana Seni Patung dari Curtin University dan telah menempuh studi pascasarjana di bidang kurasi seni dan pendidikan menengah. Karyanya telah dipamerkan di galeri-galeri di Australia, Filipina, dan Amerika Serikat.

Residensi Lintas Benua Seniman Terpilih BREEZE: Makassar-Perth #2 Aziziah Diah Aprilia

Aziziah Diah Aprilya adalah seorang fotografer, penulis, dan praktisi budaya yang berbasis di Makassar, Sulawesi Selatan. Ia akan mendedikasikan residensinya di Perth untuk mengeksplorasi pohon asam sebagai simbol pertukaran budaya antara Makassar dan pesisir Australia. Diperkenalkan ke Australia oleh para pelaut Makassar dalam pelayaran bersejarah mereka, pohon asam memiliki makna yang dalam, yang mewakili ikatan budaya dan ekologi antara kedua wilayah tersebut.

Penelitian Aziziah akan menyelidiki tanaman, mitos, dan cerita yang dipertukarkan selama periode perdagangan antara kedua budaya ini, menyoroti pentingnya tanaman ini sebagai penanda sejarah bersama.

Residensi BREEZE kali ini merupakan tahun kedua bersama Aziziah dengan Sherry Quiambao. Program ini merupakan inisiatif kolaboratif antara PICA, Rumata’ Artspace, dan Universitas Negeri Makassar. Kemitraan ini mendorong pertukaran pengetahuan dan eksplorasi budaya, memperkuat hubungan antara Australia Barat dan Makassar. Meninjau kembali hubungan historis antara penduduk asli Australia dan Makassar–yang sudah ada sejak sebelum penjajahan–BREEZE menyediakan platform penting untuk dialog dan kolaborasi antar-budaya.

Aziziah Diah Aprilya, yang juga dikenal sebagai Zizi, adalah seorang fotografer, penulis, dan praktisi budaya yang berbasis di Makassar, Sulawesi Selatan. Baru-baru ini ia menerbitkan photobook pertamanya, Got Your Back (SOKONG! Publisher, 2024), yang merefleksikan tema-tema tentang rumah, generasi, perubahan, dan hubungan yang menghubungkan mereka. Karya-karyanya juga sering mengeksplorasi isu-isu lingkungan, sosial-politik, dan perempuan, dan telah dipamerkan di berbagai kota di Indonesia. Pada tahun 2024, ia terpilih sebagai penerima penghargaan Objectifs Documentary Award untuk kategori Emerging Photography.

Program Pertukaran Seniman Breeze: Perth-Makassar #2

Rumata’ ArtSpace – Fakultas Seni Rupa dan Desain Universitas Negeri Makassar (UNM) – MAREGE Institute dan Perth Institute of Contemporary Arts (PICA) dengan bangga mengumumkan Breeze#2: Program Pertukaran Seniman Perth-Makassar 2025, sebuah program tahunan selama tiga tahun yang didukung oleh Project 11, yang saat ini telah memasuki tahap kurasi.

Breeze#2 berfokus pada pertukaran ide dan praktik artistik, elemen-elemen yang dapat membawa angin perubahan. Berfokus di antara Perth dan Makassar, kedua tempat ini telah lama dihubungkan oleh ikatan sejarah dan budaya antara penduduk asli Australia dan Makassar yang telah terjalin sejak abad ke-17.

Program residensi ini menyediakan platform untuk pertukaran ide, pengumpulan pengetahuan, kesempatan untuk bekerja di lingkungan budaya yang baru, kolaborasi yang berkelanjutan, dan mengembangkan hubungan antar budaya antara Perth (Australia Barat) dan Makassar (Indonesia).

Dalam program ini, seniman Makassar diundang untuk mengikuti residensi selama empat minggu di Perth, Australia. Diberikan kepada satu (1) praktisi per tahun, residensi ini mencakup ruang studio, akomodasi, dan tiket pesawat pulang-pergi bagi seniman untuk menghabiskan waktu di Perth untuk berinteraksi dengan praktisi lokal, melakukan penelitian, mengembangkan praktik, dan membangun koneksi profesional.

Athirah Pakkamase Bersinergi: Kisah Lokakarya Gen Z di Makassar

Oleh: Andi Adel Thufailah

Makassar – SMA Islam Athirah kembali mencetak momen berkesan dengan menggelar lokakarya pertama bertema Pakkamase, yang berlangsung mulai 9 Oktober hingga 31 Oktober 2024. Acara ini bukan hanya menghadirkan inovasi, tapi juga membawa semangat kolaborasi khas generasi Z.

Semua dimulai dengan kedatangan kakak-kakak pendamping pada 9 Oktober 2024. Mereka memberikan sosialisasi tentang proses kreatif yang menjadi landasan acara. Setelahnya, dibentuk tim berisi 12 orang siswa yang bertugas menghidupkan konsep ini.

Momentum semakin terasa pada 19 Oktober 2024, ketika tim menghadiri seminar bersama Guruh Soekarnoputra, putra Presiden Soekarno. Dalam seminar ini, Guruh membagikan cerita eksklusif tentang kehidupan Presiden pertama Indonesia dalam lingkup keluarga. Kisah inspiratif ini menanamkan pelajaran berharga bagi para peserta.

Keesokan harinya, pada 20 Oktober, dimulai lokakarya kreatif bertajuk What’s in My Bag. Para peserta mengeksplorasi barang-barang pribadi yang ada di tas mereka, lalu menggabungkannya menjadi konsep pameran unik. Proses ini dilanjutkan dengan dua hari diskusi intens untuk menyempurnakan ide-ide, termasuk pengumpulan barang pameran.

Proses berikutnya berlangsung selama tiga hari di mana peserta menata barang-barang, dengan salah satu sorotan utama adalah kesempatan mereka menggunakan barang-barang pribadi milik Jusuf Kalla yang dipinjamkan pihak sekolah. Dengan kreativitas dan dedikasi, hasil akhirnya dipamerkan di Fort Rotterdam dari 27 hingga 31 Oktober 2024.

Acara ini menjadi pengalaman yang penuh pelajaran, mengajarkan kerja tim, kreativitas, dan menghormati sejarah. Para peserta mengucapkan terima kasih kepada kakak-kakak pendamping, sekolah, dan semua pihak yang terlibat. Pakkamase bukan sekadar pameran, tapi kisah yang akan selalu membekas di hati.

Rumata’ ArtSpace Hadir di JAFF Market 2024

Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF) dimulai pada tahun 2006. JAFF secara konsisten memperkuat dan memacu ekosistem sinema di Yogyakarta. Dan lahirlah talenta-talenta & sineas-sineas muda dari Yogyakarta. Sekitar tahun 2009 sineas-sineas di era digital mulai membuat film cerita pertama mereka dan jumlah produksi oleh studio dan rumah produksi yang meningkat. Sistem distribusi digital semakin kuat dan Indonesia menjadi salah satu pasar terbesar dalam skema film Asia Tenggara. JAFF menjadi hub bagi para profesional dan sineas-sineas muda di Indonesia. Dari situasi itulah lahirlah Pasar JAFF atau JAFF Market .

JAFF Market merupakan pusat, tempat memamerkan, pameran, dan pasar bagi industri film, konten, teknologi, bahkan bakat-baru baru dan talenta muda, dan seluruh ekosistem film Indonesia. Visinya adalah untuk memperkuat industri film Indonesia.

JAFF Market 2024, yang menjadi pasar film pertama dan terbesar di Indonesia, resmi dibuka pada Selasa (3/12) pagi di Jogja Expo Center (JEC), Kota Yogyakarta. Menghadirkan 151 booth dan 96 perusahaan dari berbagai sektor industri perfilman, acara pembukaan ini diresmikan oleh Menteri Kebudayaan Republik Indonesia, Fadli Zon, dan dihadiri oleh Ahmad Mahendra, Direktur Perfilman, Musik, dan Media.

Rangkaian kegiatan di JAFF Market bertujuan untuk mempertemukan para pembuat film, produser, dan pelaku industri lainnya guna membangun ekosistem sinema yang lebih kuat. Dengan adanya program-program seperti diskusi, showcase, dan peluang kolaborasi, kegiatan ini diharapkan dapat mendukung perkembangan industri kreatif di Indonesia sekaligus memperkuat posisi perfilman Indonesia di kancah internasional.

Pada kesempatan ini, Rumata’ ArtSpace turut hadir sebagai exhibitor dari Indonesia Timur serta memperkenalkan program-programnya yang bertautan dengan audio-visual yaitu SEAscreen Academy, Sineria Bacarita Digital dan MIWF. Kesempatan ini juga sekaligus membuka peluang bagi siapapun yang ingin berkolaborasi dalam program-program Rumata’, ataupun menggagas ide-ide program lainnya.

Acara ini berlangsung selama tiga hari, mulai 3 hingga 5 Desember 2024, dari pukul 09.00 hingga 17.00. Selama penyelenggaraan, pengunjung dapat mengikuti berbagai program, seperti JAFF Content MARKET, Indonesia-France Film Lab, JAFF MARKET Screening Room, JAFF Future Project & Talent Day bersama Netflix, konferensi film, hingga sesi networking. Selain itu, booth milik berbagai rumah produksi turut menawarkan aktivitas yang dapat diikuti oleh peserta.

SA/TU: Setiap Orang Saat Ini Memiliki Cerita dan Dunia Adalah Arsip

Oleh: Ibe S. Palogai

Menyalin kenangan menjadi tulisan bukanlah tindakan sejarah tetapi tindakan ingatan, yang separuh runutannya rusak oleh rampaian mimpi, mantra, dan akar yang liar.

Saya baru-baru ini mendengar satu cerita yang menarik tentang gadis kecil berusia enam tahun yang sedang mengikuti kelas menggambar di sekolahnya – dia duduk di meja paling belakang dan menggambar. Menurut gurunya, gadis ini memiliki kesulitan dalam memahami mata pelajaran, tetapi ketika kelas menggambar, dia menjadi sangat bersemangat. Guru itu kagum dan berjalan ke arah gadis tersebut. “Apa yang sedang kamu gambar?” Tanya guru itu. Gadis itu menjawab tuhan. Gurunya segera menimpali, “tetapi tidak ada satu pun orang yang tahu bagaimana bentuk tuhan.” Gadis kecil itu kemudian menjawab, “tenang saja, sebentar lagi mereka akan tahu.” Lalu gadis itu melanjutkan usahanya.

Yap, sejak kecil, kita telah tumbuh dalam satu sistem pendidikan yang bertumpu pada hierarki yang aneh. Di tempat paling atas adalah matematika. Setelah itu yang berhubungan dengan manusia. Lalu yang paling di bawah adalah seni. Dan ini terjadi hampir di seluruh dunia. Guru kita hanya menganggap murid yang dapat memahami matematika sebagai murid yang pintar, yakan?

Kenapa misalnya tidak ada yang mengajari anaknya melukis setiap hari seperti kita dulu dipaksa setiap hari untuk memahami matematika? Matematika memang penting, dan sama pentingnya dengan painting – melukis.

Apakah ini yang menyebabkan luaran pendidikan kita kemudian, tentang siapa yang memenangkan apa? Siapa yang pantas mendapatkan penghargaan apa? Dan siapa yang sukses menjadi apa? Ketika kita balita, bagian tabuh paling aktif adalah kaki. Kita sering melihat anak kecil yang sepertinya memiliki dua paru-paru dan empat jantung yang digunakan untuk menunjang keaktifan jelajahnya. Ketika beranjak menuju remaja, pendidikan mulai difokuskan ke bagian pinggang ke atas. Lalu untuk menjadi dewasa, pendidikan mulai difokuskan di bagian kepala – seakan-akan kita tidak punya tangan, kaki, atau badan lagi yang menunjang keberadaan kepala.

Harusnya, jika kita setuju dengan sistem pendidikan semacam itu, maka untuk disebut sukses, kita berakhir di kampus dan menjadi profesor. Ketika menempuh pendidikan sebagai mahasiswa, saya merasa guru besar yang mengajari saya sintaksis adalah orang yang hidup di dalam kepalanya. Seakan-akan tubuh hanya kendaraan bagi kepalanya. Tubuh adalah alat yang membawa kepalanya ke ruang senat untuk rapat.

Lantas, apa yang mendasari sehingga sistem pendidikan kita seperti ini sekarang? Sebelum abad 19, tidak ada yang namanya sistem pendidikan publik. Kebutuhan ini muncul untuk memenuhi sistem industrialisasi. Model pendidikan semacam ini memiliki dua ide utama, pertama, subjek paling berguna untuk pekerjaan berada di paling atas. Jadi kita mungkin diarahkan untuk menjauhi tempat-tempat tertentu di sekolah karena itu akan membuat kita kesulitan mendapatkan pekerjaan. Dan yang kedua adalah kemampuan akademis, yang telah mendominasi cara pandang kita terkait kecerdasan. Kenapa sistem pendidikan kita secara berlarut-larut didesain untuk membawa kita ke universitas? Sehingga banyak orang yang cerdas dan pintar berpikir bahwa diri mereka tidak bisa apa-apa. Karena apa yang kita lakukan dengan baik di sekolah dianggap salah atau buruk.

Data Unesco mengatakan, 7 tahun lagi – ini dimulai sejak tahun 2006, kita akan surplus sarjana dan ini menjadi ancaman inflasi akademis. Jadi kita butuh memikirkan kembali secara radikal cara pandang kita terhadap kecerdasan. Kita tahu tiga hal tentang kecerdasan. Pertama kecerdasan itu beragam. Kita memikirkan tentang dunia dengan beragam cara, kita berpikir secara visual, kita berpikir secara suara, kita berpikir secara kinestesis, kita berpikir dalam istilah abstrak, kita berpikir dalam pergerakan. Kedua kecerdasan itu dinamis. Jika kita belajar tentang neuro, kecerdasan itu sangat interaktif. Otak kita tidak dipilah ke dalam ruang terpisah. Faktanya, kreativitas – sesuatu yang kita definisikan sebagai proses mendapatkan ide organik lebih sering muncul dari interaksi interdisipliner yang membantu kita melihat sesuatu dengan cara yang berbeda.

Pada hari pertama antologi manusia, kita membicarakan hubungan makanan dan buku yang difasilitatori oleh Wilda, Ashari, dan Lemon. Lalu kita membicarakan buku puisi Ibe dari perspektif seorang musisi dan fotografi. Malamnya, kita memasuki pameran dan mendengar puisi Ibe dibacakan oleh robot melalui perantara Adin yang digunakan sebagai sarana penghubung dan terhubung dengan bagaimana kita melihat instalasi seni media baru Jasmin merespons galeri. Hari kedua, kita mulai dengan mengobrolkan foto sebagai praktik dokumentasi punggung bersama Zizi yang dilanjutkan membicarakan hubungan kota, anak muda, sejarah, dan digital bersama Vini Mamonto dan Adi Rais. Malamnya, kita mendengar proses Antropos menerjemahkan rangkuman hasil riset, pengolahan data menjadi naskah pertunjukan Batang-batang Rupama hingga tuntas menjadi buku. Tidak berhenti di situ, kita melanjutkan percakapan tentang gagasan komune bersama Kapal Udara yang meluncurkan klip musik yang juga disutradarai oleh Rachmat.

Jadi apa yang sebenarnya kita rayakan? Yup, himpunan imajinasi manusia yang senantiasa terbuka sehingga kita bisa memasukinya dengan cara kita yang paling apa adanya.

Catatan Tambahan

Relawan 

Ibe S. Palogai

Erika Rachma Aprilia

Rejeky Kene

Ayu Puspa F

Hirah Sanada

Andika Catur Prasetyo A

⁠⁠Fathur Rahma Bahtiar

⁠Andi Dea Amalia

Muhammad Mifta

⁠⁠Aisyah Permata Rosadi

Fikram Azhari

⁠Adhitya Permana

⁠⁠Rahmida Hayati

Nurkhalifa

⁠Trian Rezki 

Dwi Ugha

15 Program 

42 Fasilitator dan Narasumber

763 interaksi manusia selama kegiatan

 

Catatan Tambahan

  1. Kebenaran tertinggi yang dapat ditemukan seseorang berakar pada dunia alami.
  2. Ketika kita berbicara tentang hidup kita, panjang atau pendek, singkat dan tragis atau abadi di luar pemahaman, kita memaksakan sebuah kesinambungan pada hidup kita, dan kesinambungan itu adalah sebuah kebohongan.
  3. Cara kita–Cara Barat–selalu menjadi “pekerjaan yang terus berlanjut.” Pertanyaan tentang hidup dan mati, baik dan jahat, keadilan dan tragedi–ini tidak pernah diselesaikan secara definitif, tetapi harus dibahas berulang kali seiring dunia pribadi dan publik bergeser dan berubah. Kita menganggap moral kita sebagai sesuatu yang mutlak, tetapi konteks tindakan dan keputusan kita selalu berubah. Kita bukan penganut relativisme karena kita berusaha mengevaluasi ulang posisi moral kita yang paling penting berulang kali.

MIWF 2025: “Land and Hand”

Di tengah momen perayaan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia, kabar memukau datang dari Makassar International Writers Festival (MIWF) yang baru saja mengumumkan secara resmi tema baru untuk pagelarannya di tahun 2025.

Setelah upaya mendorong semangat merawat dan mengasuh yang ditunaikan melalui ‘Mothering’, rancangan MIWF untuk tahun selanjutnya kali ini datang dengan aura yang tidak biasa dan cukup berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Mengusung tema ‘Land and Hand’ kali ini mendatangkan visual dari tangan seniman lintas disiplin yang berbasis di Palu, Sulawesi Tengah, Taufiqurrahman ‘Kifu’, menjadi seruan perlawanan atas segala bentuk perampasan ruang hidup, pembantaian, penindasan, dan pengusiran berbagai komunitas dari tanahnya, juga pengerukan dan perusakan lahan yang masih terus terjadi di berbagai tempat, serta hal-hal lain di sekitar persoalan-persoalan genting tersebut.

Nantikan Makassar International Writers Festival ‘Land and Hand’ 29 Mei – 1 Juni 2025.

Sea to See: Interview Bersama Ilona McGuire

Semua Foto diambil Oleh Gibe

Pada 14 Juni lalu, Ilona McGuire melakukan presentasi publiknya berupa pertunjukan ‘Sea to See’ di halaman belakang Rumata’ ArtSpace. Ilona adalah seorang seniman Bibbulmun Noongar dan Kungarakan (Bangsa Pertama ‘Australia’) yang terpilih mengikuti program pertukaran seniman Breeze: Makassar – Perth dari PICA yang bekerja sama dengan  FSD UNM dan Rumata’ ArtSpace serta didukung oleh Project Eleven.

Karya-karya Ilona banyak mengeksplorasi tentang sejarah, ekspresi emosional melalui pertunjukan, dan karya visual menggunakan pendekatan lensa budayanya. ‘Sea to See’ adalah sebuah performans kolaboratif yang berupaya melestarikan hubungan serta warisan sejarah dan budaya maritim antara Makassar dengan Australia Barat. Dalam pertunjukan ini, Ilona berkolaborasi dengan sejumlah seniman Makassar yaitu Alghifari Jasin, Syakirah, Andi Nur Azimah, Arif Daeng Rate, Hirah Sanada, Muhammad Mahar, dan Andi Sukran.

Berikut wawancara tim newsletter Rumata’ Khomeiny Imam bersama Ilona di halaman belakang Rumata’ ArtSpace.


Oke. Hai Ilona. Bisakah kamu ceritakan, siapa itu Ilona dan bagaimana kamu tumbuh, serta hubungan kamu dengan suku Bibbulmun Noongar dan Kungarakan atau First Nation Australia?

Ilona:
Baik, terima kasih sudah mengundangku. Namaku Ilona McGuire, dan pertama-tama, aku ingin memperkenalkan diri melalui suku-suku aku. Suku-suku pribumi di Australia, yang sekarang kita kenal sebagai Australia.

Aku mengakui garis keturunan ayahku dari suku Bibbulmun Noongar, yang terdiri dari 14 klan suku, dan aku bagian dari tiga klan tersebut, yaitu Whadjuk, Balladong, dan Yuat. Dan dari sisi ibuku, aku merupakan suku Kungarakan, yang berada di selatan Darwin, dan suku Noongar ada di barat daya Australia.

Jadi, ya, itu adalah kebiasaan bagi banyak orang pribumi di Australia untuk memperkenalkan diri mereka dan kemudian suku mereka. Itu cukup umum. Dan, ya, aku lahir di sebuah kota kecil di Australia Barat bernama Kalgoorlie, dan tinggal di sana selama beberapa tahun, di mana aku memulai pendidikan awal di sekolah Aborigin.

Lalu kami pindah ke Perth untuk memulai sekolah dasar. Tinggal di sana beberapa tahun lagi, lalu pindah ke Darwin untuk lebih dekat dengan keluarga dari sisi ibuku. Bertemu dengan mereka, terhubung dengan sisi keluarga Kungarakan kami.

Dan, ya, aku lalu kembali ke Perth untuk menyelesaikan sekolah menengahku. Jadi, banyak berpindah-pindah.

Seni adalah sesuatu yang sangat terhubung denganku, yang memungkinkan aku untuk mengekspresikan diri dan mengenal diriku dengan menciptakan sesuatu.


Bagaimana dengan proses kreatifmu dalam “Sea to See”, bisa kamu ceritakan?

Ilona:
Jadi, saat aku mendengar tentang residensi ini, aku pikir itu tahun lalu, aku sudah tertarik dan mencoba meneliti sebanyak mungkin tentang hubungan antara Makassar dan orang-orang pribumi sepanjang sejarah karena aku tahu ada sesuatu di sana, tetapi aku tidak tahu cukup banyak tentangnya untuk memberikan komentar. Tapi itu benar-benar memicu minatku, dan residensi ini muncul di PICA, Perth Institute of Contemporary Art. Aku sudah pernah bekerja dengan PICA sebelumnya, jadi aku mengenal seseorang di sana yang memberitahu aku tentang kesempatan ini.

Jadi aku pikir, oh, ini bagus, maka aku akan mendaftar, karena itu berkaitan dengan penelitian tentang hubungan budayaku. Orang-orang terus bertanya kepadaku, apa yang akan ku buat? Apa yang akan ku ciptakan dari residensi ini? Dan aku hanya, aku tidak tahu karena aku tidak ingin membangun ekspektasi apapun, belum pernah ke sini juga sebelumnya. Aku tidak mengetahui budaya, tidak mengetahui orang-orangnya. Dan mungkin saja ku bisa datang ke sini dan benar-benar ditolak, dan aku siap mengambil risiko itu. Karena aku pikir, ini semua adalah bagian dari proses belajar. Namun ketika aku datang ke sini, aku benar-benar disambut dengan keramahan yang luar biasa dari Azima, setelah bertemu dengannya di Perth beberapa minggu sebelum aku datang ke sini, kami sudah bertemu dan memulai sedikit persahabatan, menurutku.

Jadi ketika aku datang ke sini, dia membuatnya lebih mudah karena ada seseorang yang aku kenal. Tapi ya, kemudian kami perlahan mulai berbicara tentang jenis karya apa yang bisa keluar dari relasi dan penelitianku. Awalnya, aku berniat hanya membuat beberapa karya tekstil dengan gaya batik, mencampurkan elemen-elemen pribumi dan simbol-simbol visual seperti totem, untuk mewakili hubungan dari mana aku bisa mengambil kekuatan sebagai seorang Pribumi. Aku percaya kita membutuhkan lebih banyak elemen yang dapat memberikan kekuatan bagi kita sebagai masyarakat Pribumi.

Jadi, kami terus berbicara tentang itu, Azima dan aku. Aku juga bertemu dengan Arif, dan kami berbicara tentang musik. Kemudian, kami mulai berdiskusi tentang pertukaran tak berwujud yang tidak memerlukan pembuatan lebih banyak properti, karena aku tidak benar-benar percaya pada pembuatan lebih banyak benda. Lukisan di dinding, misalnya, terasa tidak berguna bagiku. Aku pikir dunia membutuhkan lebih banyak karya positif yang tidak berwujud, yang dapat menciptakan komunitas atau percakapan di sekitarnya, yang entah bagaimana bermanfaat untuk sedikit penelitian atau berkontribusi pada sesuatu yang lebih besar dari diri kita sendiri. Aku tidak ingin membuatnya tentang diriku sendiri; aku ingin itu menjadi sesuatu yang dapat kita lihat dan diberdayakan oleh kita sebagai manusia. Ini cukup ambisius, menurutku.

Namun, kami terus berbicara tentang itu. Arif mulai bercerita tentang Kajang, dan semakin banyak kami membahasnya, semakin menarik jadinya. Arif berkata, mungkin kita bisa pergi ke sana akhir pekan berikutnya atau setelahnya. Kami semua setuju, oh, oke, kita lakukan ini. Kami semua, termasuk Ipang, melompat ke dalam mobil dan pergi untuk perjalanan ke Gibe. Kami tinggal di sana selama beberapa malam dengan keluarga Arif, dan kemudian kami benar-benar mengunjungi desa Kajang. Apakah itu terbatas? Aku tidak tahu bagaimana menyebutnya. Oh, ya, Desa Kajang yang sebenarnya.

Ilona:
Jadi, kami pergi ke sana dan mengunjungi tempat itu. Aku tidak meminta hal-hal ini, tapi aku merasa sangat beruntung diundang dan dianggap layak mengunjungi tempat-tempat yang begitu istimewa. Aku semakin menyadari bahwa banyak orang yang aku ceritakan tentang pengalaman ini, bahkan belum pernah ke sana, padahal mereka telah tinggal di sini sepanjang hidup mereka. Itu sangat mengejutkan bagiku, dan aku merasa sangat beruntung dan benar-benar diberkati dengan kesempatan untuk terhubung dengan kelompok orang yang luar biasa. Pengalaman ini terus memicu lebih banyak percakapan. Kami bahkan bertemu dengan beberapa pelaut terakhir dari Chepang yang berlayar pada tahun 2019, jika aku tidak salah ingat.

Bahkan jauh sebelum itu, ada beberapa acara di mana orang-orang mencoba berlayar di perahu, dan itu sangat menarik mendengar tentang karakter laut serta perasaan dan pemikiran mereka tentang perjalanan tersebut. Kami terus memikirkan bagaimana kami bisa mengembangkan jenis penceritaan ini dalam sebuah karya pertunjukan, untuk menggabungkan berbagai cara bercerita kami melalui musik. Entah itu bernyanyi, bermain piano, Zima, atau menggunakan Keso Keso, semuanya mulai berkembang dari sana.

Ada lebih banyak seniman yang tertarik, seperti, ya, Syakira, dia seorang penari, dan Agi, dan Shukran juga, dan Mahar. Mahar. Ya.

Kami punya waktu sekitar seminggu lebih untuk benar-benar menciptakan sesuatu, tapi aku ingin menekankan bahwa ini bukan tentang tampil di depan penonton. Ini bukan karya yang ingin aku pamerkan. Ini adalah pertukaran budaya yang sangat berarti bagi diriku. Mengingat konteks dari mana aku berasal, yaitu Australia, di mana terdapat banyak kerusuhan politik dan masalah antara orang Pribumi dan pemerintah kolonial, kami hidup dalam sistem yang terus menindas kami, dan ini bukan tentang pengorbanan.

Aku mencoba menjauh dari hal-hal negatif dan tidak ingin memunculkan pikiran serta perasaan negatif pada orang Pribumi lain ketika mereka melihat karyaku. Aku ingin fokus pada pertukaran positif dan menciptakan karya yang mendorong cinta, penghormatan, dan perayaan. Melihat hubungan ini, aku merasa bahwa itulah inti dari apa yang aku coba lakukan, yaitu menciptakan sesuatu yang bisa dilihat orang dan berkata, “Oh, itu indah,” atau “Itu menceritakan sebuah kisah.” Penceritaan melalui musik dan tari adalah sesuatu yang sangat integral bagi budaya kami.

Aku ingin orang-orang bisa melihat pertunjukanmu dan mengerti apa yang terjadi hanya dari gerakanmu, warna-warna, suara, dan suasana yang kamu ciptakan. Aku ingin karya ini tetap otentik dan benar secara budaya, tetapi juga mencoba mencampur gaya kami dengan cara yang menarik. Inti dari semuanya adalah sebagai pertukaran budaya daripada pertunjukan, karena kami semua terhubung sebagai seniman pada tingkat individu. Aku merasakan keaslian yang muncul dalam semua percakapan dan pengalaman kami bersama dalam latihan, serta saat kami duduk bersama untuk makan, semuanya merupakan bagian dari karya itu sendiri. Jadi, aku tidak khawatir dengan apa yang akan menjadi produk akhirnya, karena seluruh proses adalah karya itu sendiri.

Maaf, itu adalah proses berpikir, sangat panjang.


Menarik! Bagaimana premis tentang pertunjukan ini muncul, atau ‘Sea to See’ ini muncul?

Ilona:
“Sea to See” menurutku adalah istilah yang luas, nama yang luas. Dalam semua percakapanku dengan orang-orang, penelitian, dan mendengar tentang sejarah lisan, cerita-cerita yang dimiliki orang, aku menemukan lebih banyak pertanyaan daripada jawaban. Karena sejarah kolonial di Australia, banyak sejarah lisan dianggap rendah, bukan sebagai bentuk penelitian yang sah. Namun, dalam pandangan Pribumiku, dalam cara berpikir budaya, aku lebih suka mendengar cerita orang daripada membacanya dari buku. Aku suka duduk bersama orang-orang dan mendengar apa yang mereka katakan, terutama jika berkaitan dengan budaya atau pengetahuan Pribumi.

Fakta bahwa lebih banyak pertanyaan muncul adalah sesuatu yang kami biarkan terjadi secara alami, tanpa memaksa. Kami ingin tahu lebih banyak tentang apa yang membuat hubungan kuno ini begitu istimewa dan penting bagi nenek moyang kami, yang telah memelihara dan menjaganya tetap kuat selama lebih dari 500 tahun. Kami mencoba menemukan apa yang membuatnya begitu indah dan berdampak, tetapi pada akhirnya, kami menerima bahwa tidak ada kesimpulan pasti untuk cerita ini.

Aku mencoba menciptakan semacam bab longgar untuk setiap bagian dari pertunjukan. Dimulai dengan rasa ingin tahu, kemudian pertukaran humming yang memicu perjalanan. Dalam perjalanan ini, Shakira menjadi representasi Makassar dan Agi menjadi lautan, membawa kami dalam perjalanan melalui lautan menuju pertemuan di pantai di Australia. Di sana terjadi pertukaran, di mana kami bertukar tari, pandangan, dan hal-hal lainnya. Bagian berikutnya adalah syukur, yang merupakan elemen terpenting dari seluruh karya ini, karena kami selalu bertukar rasa syukur dalam berbagai bentuk dari semua pengalaman dan hadiah yang kami bagikan yang bersifat tidak berwujud.

Hadiah tersebut bukan literal, tetapi berupa pengetahuan, kebijaksanaan, pemberdayaan, dan cinta. Kami ingin terus melanjutkan rasa syukur yang tidak berwujud ini melalui tari. Agi, sebagai lautan, menjadi bagian dari hubungan tiga arah antara Pribumi, Makassar, dan lautan yang menghubungkan kami. Pertunjukan ini terbuka dan tidak memiliki kesimpulan pasti, karena kami masih mencoba membangun kembali apa arti hubungan ini sekarang bagi kami.

Dalam pikiranku, tidak ada kesimpulan, terutama karena kami masih mencoba memahami dan mengembangkan apa hubungan itu sekarang. Jadi, aku tidak tahu apakah ini menjawab pertanyaannya. Maaf jika aku mengoceh.


Oke, jadi… Jadi, sampai sekarang, bagaimana pengalamanmu mengikuti residensi ini? Karena ini pertama kalinya kamu ke sini, datang ke Makassar juga. Bagaimana menurutmu seluruh pengalaman ini, bertemu semua orang ini, bertukar, dan membuka diskusi?

Ilona:
Ini adalah proses pembelajaran yang luar biasa bagiku. Aku belum pernah menjadi orang asing di mana pun, selalu berada di tanah leluhurku. Aku tidak tahu bagaimana rasanya menjadi orang asing, tetapi setelah berada di sini, tidak menjadi pusat komunikasi, aku tidak bisa berbicara bahasa ini, sayangnya. Aku berharap bisa datang ke sini dengan berbicara bahasa yang benar. Aku bersyukur kepada Tuhan atas sahabatku, Azima, yang begitu murah hati menerima dan menghubungkanku, serta melakukan hal-hal praktis bersama. Itu sungguh luar biasa, karena aku tidak tahu apa yang akan aku lakukan tanpa dia.

Pengalaman ini sangat membuka mata dan terkadang cukup menantang. Aku sangat menikmati prosesnya, meskipun mengalami sedikit kejutan budaya di sana-sini, berada di tempat yang benar-benar berbeda dari yang biasanya aku alami. Tantangan ini baik, dan menyadari bahwa ada begitu banyak pengalaman luar biasa di dunia yang sangat berbeda dari apa yang biasanya aku alami.

Aku akan pergi dari pengalaman ini dengan mengetahui bahwa aku memiliki teman-teman yang sangat baik untuk menjaga aku. Ini lebih dari yang aku harapkan, terutama dengan perjalanan kami ke Bulukumba dan Kajang. Itu luar biasa.


Bagaimana menurutmu seluruh pengalamanmu di sini apakah ada yang memengaruhimu secara kesenian untuk kedepannya? Jika ada yang berpengaruh selepasmu dari sini, seberapa jauh menurutmu hal itu terjadi?

Ilona:
Sangat mendalam. Aku merasa telah merindukan sesuatu yang aku temukan begitu terasa alami di sini, yang tidak pernah aku duga itu bisa terjadi.

Seperti yang sudah kukatakan beberapa kali, orang-orang di sini, dan cara kalian duduk dan berbicara berjam-jam, sungguh memikatku dengan bagian budaya di sini. Itu adalah sesuatu yang ingin aku dorong di komunitasku sendiri. Lebih banyak ruang seperti ini di mana kita bisa berkumpul tanpa alkohol, akan lebih baik, karena tampaknya menjadi masalah besar di Australia.

Aku merasa bahwa orang-orang kreatif dengan pikiran yang tenang benar-benar kuat saat bersama-sama, dan aku ingin ada lebih banyak ruang seperti ini. Jadi setelah datang ke sini dan mengalami sendiri, aku merasa sangat terstimulasi. Aku pikir itu bisa menjadi melelahkan dan menakutkan untuk selalu bersama orang-orang, tetapi ini justru memberi aku energi yang tidak aku duga. Hal ini benar-benar mengubah dan memengaruhi aku sampai titik di mana aku ingin mengambil gagasan ini dan mencoba mendorongnya di komunitasku sendiri, untuk memiliki tempat yang serupa.


Hehehe, ya ya. Mungkin ini adalah pertanyaan terakhir. Jadi, adakah semacam harapanmu dari program residensi ini, seperti, mungkin keberlanjutan dari pertukaran budaya antara Australia Barat dan Makassar.

Ilona:
Ya, baiklah. Seperti yang kamu katakan, aku harap ada lebih banyak kontribusi pada hubungan yang sudah ada. Aku tahu bahwa ini harus berubah dalam beberapa hal karena beberapa koneksi telah terbengkalai. Aku tidak mau mengatakan hilang, tapi mereka hanya terasa seperti tidur dan perlu kita bangunkan kembali dengan memberi energi melalui cara yang menarik. Aku pikir banyak dilakukan melalui penelitian atau akademik, tapi yang paling penting menurutku adalah budaya dan seni, adalah hal yang sangat menggembirakan untuk dilihat dan diteliti.

Dan, ya, aku harap ini menjadi kesempatan untuk lebih banyak menemukan hubungan yang benar-benar terbentuk, bukan hanya simbolis. Aku harap ada ruang di mana kita bisa duduk bersama dan memiliki diskusi yang sangat bermakna, biarkan itu terjadi secara alami antara orang-orang. Karena dari situlah semuanya dimulai dan kami sudah membicarakannya. Itu dimulai dari orang-orang, dan harus tetap dimiliki oleh orang-orang, tidak digentrifikasi, dipengaruhi, atau diimpos oleh kontrol oleh institusi dan sejenisnya.

Orang-orang perlu waktu untuk berbicara, menciptakan, dan berkontribusi. Oke, berbicara, menciptakan.

Wow, girl. Aku terdengar seperti duta besar.


Hahahaha, terima kasih Ilona, aku pikir pertanyaanku cukup untuk sekarang.




Editor: Khomeiny Imam

Selamat Kepada Peserta Terpilih SEAScreen Academy 2024

SEAScreen Academy baru saja mengeluarkan pengumuman daftar peserta terpilih pada rabu (1/5) melalui akun instagram resminya. Hasil seleksi tersebut menampilkan dua belas daftar peserta terpilih yang kali ini berasal dari tujuh daerah berbeda yaitu Maumere, Sumbawa, Jambi, Palu, Luwu Timur, Gowa dan Makassar. Kedua belas peserta ini akan didatangkan ke Makassar untuk mengikuti rangkaian program tahap satu yang digelar selama tiga hari. Berikut profil para peserta terpilih SEAScreen Academy 2024:

Dhanny Wijaya Setiawan (Jambi)
adalah seorang penulis naskah dari Jambi, dan telah menjalani petualangan dalam menulis kreatif selama sekitar dua tahun. Dia mengasah keterampilannya di “Tim Penulis Bahagia” dan “Turion Creative”. Sebelum menemukan passion-nya dalam menulis, ia tertarik pada bercerita melalui stand-up comedy.

Dibekali dengan rasa ingin tahu dan dedikasi, Dhanny mengikuti berbagai kelas dan pelatihan yang akhirnya membawanya ke “SCENE”, sebuah program inkubasi oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif pada tahun 2022. Program tersebut membantunya menemukan jalannya dalam berkolaborasi dengan “Turion Creative”. Hasil kolaborasinya, “Langit Tak Berujung”, terpilih sebagai seleksi resmi di JAFF 2023 dan sudah dapat ditonton di Bioskop Online.

Saat ini Dhanny memiliki tiga film pendek dan sebuah mini-seri dalam keranjangnya. Selain film, Dhanny juga peduli pada masalah lingkungan, menunjukkan dukungannya dengan melakukan kampanye untuk mengurangi pemborosan dan kerugian makanan.

M. Alif Wijaya (Makassar)
“Al” Ridwan lahir di Makassar, pada tanggal 19 Agustus 2004, dari ayah Jeneponto dan ibu Gowa. Dia sering mengunjungi pedesaan meskipun sebagian besar hidupnya terjadi di kota. Dia diperkenalkan dengan film melalui DVD bajakan yang diproduksi massal di pasar atau toko sejak usia muda.

Saat ini dia sedang belajar Film dan Televisi di Institut Seni Yogyakarta, ia fokus pada produksi film, penulisan naskah, dan komposisi musik film. Selama studinya, dia telah memproduksi dan menjadi penulis bersama dua film pendek, The Boy Who Dreamed of Lightning dan Kontapati.

Dinul Yakin (Palu)
Seorang penulis dan sutradara, menemukan minatnya dalam dunia film pada tahun 2017 ketika ia mulai terlibat dalam kompetisi FLS2N.

Ketertarikannya dalam pembuatan film semakin meningkat setelah berhasil mengangkat nama-nama daerah ke ajang kompetisi Film Nasional 2P dan mendirikan komunitas pemutaran film yang berfokus pada Sigi yang dikenal dengan nama Todea Cinema.

Eka Putra Nggalu (Maumere)
Lulus dari Institut Filsafat Ledalero, Maumere. Dia adalah salah satu inisiator Komunitas KAHE dan seorang penulis yang juga aktif dalam memproduksi, mengkurasi, dan mengarahkan berbagai jenis media seni, festival, pameran, dan program seni.

Dia belajar menulis dan memproduksi film fiksi dan dokumenter mulai tahun 2019. Karya-karyanya yang telah diterbitkan adalah Miu Mai (sebagai sutradara dan penulis naskah. Diproduksi oleh Viu Short 2019), Seri Dokumenter Kampung Wuring (sebagai produser dan sutradara. Diproduksi oleh Komunitas KAHE & Teater Garasi/Institut Pertunjukan Garasi, didukung oleh VOICE 2021), dan Mimpi Lilian, sebuah web-series (sebagai penulis naskah. Diproduksi oleh Bakti Kominfo 2022).

Erika Rachma Aprilia (Makassar)
Seorang lulusan program studi Multimedia dan Jaringan di Politeknik Negeri Ujung Pandang. Selama masa kuliah, dia pernah membentuk sebuah studio independen bersama teman-temannya untuk belajar dan menciptakan karya-karya audio-visual (2017-2019).

Saat ini, dia aktif sebagai seorang pustakawan di Katakerja. Erika gemar membaca karya sastra klasik, terutama karya-karya dari penulis Rusia. Pengalamannya dalam belajar telah membuatnya tertarik pada isu-isu makanan, perempuan, dan perkotaan.

Feby Ardiatri Pasangka (Luwu Timur)
Lahir di Tadulako pada tahun 1998, adalah lulusan Program Studi Jurnalisme dan Ilmu Komunikasi Universitas Hasanuddin. Pada tahun 2019 dan 2022, ia menjadi alumni dari program Indika Foundation, sebuah yayasan yang berkomitmen untuk memupuk semangat toleransi dan menyebarkan pendidikan perdamaian di Indonesia.

Feby mulai terlibat di Tanahindie dan Biennale Makassar sejak tahun 2021 sebagai peneliti dan pembuat dokumenter. Ia juga melakukan penelitian dan menulis untuk buku “Riwayat Gunung dan Silsilah Laut” yang diterbitkan pada tahun 2023. Di pertengahan tahun 2021, Feby bersama saudara perempuannya, Fibri, menginisiasi sebuah ruang baca untuk anak-anak dan remaja di Tadulako, Luwu Timur.

Yohanes Framlus Hebin Maget (Maumere)
Lahir pada tanggal 13 Desember 1988, telah aktif sejak tahun 2010 dalam pengembangan Teater Vigilantia dengan menulis dan mengarahkan pertunjukan. Dia juga terlibat dalam serangkaian acara Maumerelogia oleh Komunitas KAHE Maumere.

Sejak tahun 2019, dia menjadi instruktur videografi di BLK Komunitas Seminari Bunda Segala Bangsa di Maumere, serta menulis dan mengarahkan film-film pendek seperti; Rindu Rumahmu (2019), Tanpa Kamu (2020), Untuk Mama (2021), Ada Cerita Apa Tahun Ini? (2021), Three Calls (2022), Sophia (2022), Kompesa (2022), dan Sendiri (2023). Film pendeknya yang berjudul “Untuk Mama” meraih Penghargaan Penghargaan dalam ACFFEST 2021 untuk “Cerita Terbaik” sementara film terbarunya, “Sendiri”, mendapatkan penghargaan khusus dalam Festival Film Flobamora 2023. Saat ini, dia menjalani kehidupannya sebagai guru di SMAK St. Maria Monte Carmelo dan mengembangkan Komunitas UGU, dengan fokus pada produksi film pendek.

Ika Mahardika (Makassar)
Lahir di Makassar, dan memulai karya fiksinya yang pertama melalui workshop pembuatan film “Makassar in Cinema” pada tahun 2017, di mana ia berperan sebagai penulis naskah, sutradara, dan editor. Pengalaman ini membawanya pada keyakinan bahwa pembuatan film adalah sesuatu yang ia cintai dalam hidupnya.

Sejak saat itu, Ika mulai bereksperimen dalam pembuatan film. Dia menyutradarai sebuah film dokumenter pendek untuk Festival Film Penulis Internasional Makassar pada tahun 2018 dan 2019, serta belajar membuat film dengan 16mm seluloid dalam Workshop Film “Her Notebook” yang diselenggarakan oleh Lablabalaba & Goethe Institute pada tahun 2019. Saat ini, Ika tinggal di Tomohon, Sulawesi Utara, dan memperluas cintanya yang baru ditemukan dalam hidup sebagai seorang ibu dan ibu rumah tangga.

Nilayanti (Makassar)
Seorang mahasiswa Departemen Ilmu Komunikasi Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar, memiliki minat dalam dunia film yang ia coba salurkan dengan berpartisipasi dalam berbagai acara, kompetisi, dan organisasi.

Selain itu, cintanya terhadap adat dan budaya yang ada di Indonesia bagian timur telah menjadi bentuk dari upayanya untuk terus belajar dan menjaga budaya melalui karyanya. Hal ini memungkinkannya untuk memperkenalkan keanekaragaman budaya, peduli terhadap warisan yang ada, sehingga membuatnya sangat ingin mengambil bagian dalam acara SEAScreen 2024, untuk mendapatkan pengalaman dan pengetahuan baru yang lebih mendalam dalam dunia film dan penulisan.


Harsa Perdana (Sumbawa)
Lahir pada tanggal 14 Januari 2001. Dia tumbuh dan tinggal di lingkungan nelayan, kemudian memulai karir pembuatan filmnya pada tahun 2021 ketika kuliah. Film pertamanya “Selembar Kertas”, terpilih dalam Festival Film Sumbawa ke-3 dan membawanya menjadi aktif dalam komunitas film Sumbawa.

Selama sekitar satu tahun, dia membuat film keduanya, “Sang Punggawa Laut Sumbawa” yang kemudian dianugerahi Penghargaan Elang 2022. Perjalanan film keduanya membawanya ke dunia luar, memperkenalkannya pada pemahaman yang lebih dalam di berbagai festival film, baik nasional maupun internasional.

Ummu Amalia Misbah (Gowa)
Setelah lulus dari Institut Kesenian Jakarta pada tahun 2020 dengan jurusan menulis skenario, dia saat ini bekerja sebagai penulis skenario di salah satu ruang penulis di Jakarta.

Beberapa karyanya dapat dilihat di berbagai media seperti bioskop atau platform OTT. Seperti; Air Mata Di Ujung Sajadah (film) dan Santri Pilihan Bunda (seri). Tidak hanya itu, Ummu juga menulis sebuah novel berjudul Bukan Salah Hujan, diterbitkan oleh Grasindo dan telah menjadi best seller sejak tahun 2018. Hingga saat ini, Ummu tinggal di Jakarta dan kadang-kadang kembali ke Gowa, kampung halamannya.

Muhammad Sabiq (Makassar)
Lahir pada 27 Juni 1992, adalah seorang pelawak dan penulis dari Kabupaten Bone. Dia lulus dengan gelar sarjana dan magister dari Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim, Malang.

Sebagai seorang penulis, Sabiq, seperti yang biasa dipanggil, telah menerbitkan beberapa karya tulis, termasuk Suara Kayu (2012), Malabar (2015), dan Merbabu (2017), serta sebuah kumpulan cerita pendek komedi gelap Begini Dosa Begitu Dosa (2023). Selain menulis, Sabiq juga terlibat dalam produksi film pendek, menggunakan platform seperti Instagram untuk bereksperimen dengan narasi visual. Keterlibatannya dalam dunia film menunjukkan perluasan bakatnya dari panggung komedi ke ranah film, seperti dalam seri Cek Toko Sebelah: Babak Baru (2022), Pulang Tak Harus Rumah (2024), dan Keluar Main1994 (2024).

SEAScreen Academy tahap satu akan segera dimulai pada pekan depan tanggal 22 Mei mendatang. Para peserta terpilih akan segera mengikuti rangkaian agenda yang dilaksanakan selama tiga hari. Salah satu program yang akan mengawali agenda SEAScreen Academy 2024 adalah MasterClass: South East Asian Film Now, yang merupakan rangkaian dari kegiatan kepenulisan film yang berfokus pada penceritaan nilai lokalitas. Kegiatan ini membincangkan pengalaman, refleksi dan berbagai sudut pandang dari para pelaku industri film Asia Tenggara mengenai bagaimana mereka membawa unsur budaya atau lokalitas dalam produksinya, tanpa melupakan relevansi dengan isu global saat ini.

Arsip Perjalanan MIWF Bersama Jokpin

“MIWF itu sangat keren dan membuat kangen. Lebih dari sekadar festival sastra. Ia sudah menjadi perayaan seni dan literasi. Saya terkesan dengan layanan panitia yang ramah dan selalu siap sedia; sajian bermacam-macam acara yang menarik dan inspiratif; pertunjukan seni yang bermutu dan menghibur; partisipasi dan gairah masyarakat (khususnya kaum muda) yang luar biasa; tempat yang lapang dan nyaman; kerja keras penyelenggara yang penuh dedikasi; dan tentu saja keseluruhan suasana yang hangat dan damai”

Joko Pinurbo, Sastrawan

Mungkin saja, MIWF yang sedemikian bertumbuh, akan terasa begitu biasa saja, atau bisa jadi datar dan dingin, jika saja entitas seorang Jokpin yang rendah hati dan sederhana itu tak pernah ada di daftar meja-meja diskusi atau mimbar-mimbar puisi MIWF. Mungkin saja, mereka yang beramai-ramai mendatangi MIWF, tidak akan menjadi seantusias kini, jika saja nama Joko Pinurbo tidak pernah muncul dalam deretan agenda tahun-tahun MIWF digelar. Atau mungkin, ekspektasi tentang MIWF tidak akan se-euforik ini jika penyair besar bernama lengkap Philipus Joko Pinurbo itu enggan menerbitkan karya-karyanya. Bahkan mungkin, panggung puisi Indonesia hari ini akan menjadi begitu menegangkan perihal membicarakan keseriusan hidup, jika saja Joko Pinurbo tidak pernah benar-benar menjadi sastrawan.

Ketika membaca sajak-sajak Jokpin, kita seperti menelan kegetiran yang demikian jenaka, yang dirangkai dengan apik, ciamik dan begitu menggelitik. Setelah kepergiannya, penyair Aan Mansyur bahkan berikrar akan menunaikan janjinya tujuh tahun lalu untuk menulis puisi berjudul ‘Joke Pinurbo’. Sastrawan satu ini memang benar-benar membuat orang-orang terkesan dengan karya-karyanya yang begitu fantastis menjungkirbalikkan realitas hidup melalui kerangka sajak.

Sajaknya yang berjudul ”Celana, 1”, ia tulis tahun 1996, Jokpin menjadikan celana untuk membicarakan kerinduan seorang anak pada sang ibu:

Ia ingin membeli celana baru

buat pergi ke pesta

supaya tampak lebih tampan

dan meyakinkan.

Ia telah mencoba seratus model celana di berbagai toko busana

namun tak menemukan satu pun yang cocok untuknya.

Bahkan di depan pramuniaga

yang merubung dan membujuk-bujuknya

ia malah mencopot celananya sendiri

dan mencampakkannya.

“Kalian tidak tahu ya

aku sedang mencari celana

yang paling pas dan pantas

buat nampang di kuburan.”

Lalu ia ngacir

tanpa celana

dan berkelana

mencari kubur ibunya

hanya untuk menanyakan:

”Ibu, kausimpan di mana celana lucu
yang kupakai waktu bayi dulu?”

Salah satu sajaknya yang pernah ia bacakan di panggung MIWF (2017), ‘Langkah-langkah Menulis Puisi’:

Langkah-langkah menulis puisi:

Langkah pertama, duduk

Langkah ke dua, duduklah dengan tenang

Langkah ke tiga, duduklah dengan tenang di atas batu

Langkah ketiga, duduklah dengan tenang di atas batu

Langkah ke empat, duduklah dengan tenang di atas batu yang kelak akan jadi batu nisanmu

Langkah ke lima, duduklah dengan tenang di atas batu yang kelak akan jadi batu nisanmu sambil membaca

Langkah ke enam, duduklah dengan tenang di atas batu yang kelak akan jadi batu nisanmu sambil membaca Pramodya, ‘Hidup sungguh sederhana, yang hebat-hebat hanya tafsirannya’

Sebelum berpisah dengan MIWF, agenda terakhir Jokpin begitu menyenangkan dan meninggalkan kesan cukup dalam bagi penggemarnya. Memang kehadiran Jokpin di MIWF selalu membuat orang-orang bersemangat untuk datang dan menyimak tiap-tiap agendanya, sehingga ruangan atau tempat diskusi menjadi begitu ramai. Jokpin pertama kali diundang ke MIWF pada tahun 2013. Beberapa orang yang menghadiri MIWF di tahun-tahun Jokpin dihadirkan tentu mempunyai kemungkinan ingatan tentang bagaimana sosok beliau. Berikut arsip tahun-tahun perjalanan MIWF bersama Jokpin:

MIWF 2013 – Jokpin mulai terlibat di MIWF pada tahun 2013, yang diawali dengan hadir sebagai pembicara yang membuka percakapan seputar proses kepenyairannya.

“Diskusi puisi bersama Jokpin. Acara dipandu oleh M. Aan Mansyur dan ruangan dipenuhi oleh para peserta diskusi. Antusiasme peserta tampak sejak awal Aan membuka sesi tanya-jawab. Pada sesi tersebut, Jokpin berkisah tentang riwayat kepenyairannya. Bagaimana ia mulai belajar mengarang puisi, proses kreatif yang ia lakukan, dan hal-hal lain yang memberi banyak sekali pencerahan serta inspirasi bagi saya sendiri.” – Bernard Batubara dalam catatan perjalanannya di MIWF 2013 bersama Jokpin.

Jokpin makan malam bersama para penulis MIWF (Arsip MIWF 2013)
Jokpin bersama Aan Mansyur dalam percakapan menceritakan proses kepenyairannya


MIWF 2016 – Jokpin hadir dan mengisi tiga agenda berbeda selama tiga hari. Dua di antaranya agenda diskusi dan membacakan puisi.

Workshop: The Essential Things in Poetry bersama Marius Hulpe dan Alia Gabres
Peluncuran Buku “Sayembara Tebu” bersama Faisal Oddang dan Jamil Massa (Arsip MIWF 2016)
Jokpin (Arsip MIWF 2016)


MIWF 2017 – Selain hadir untuk membacakan puisinya di panggung Under Poetic Stars, Jokpin juga menemani Sapardi sebagai host dalam agenda In Conversation with Sapardi Djoko Damono.

Jokpin Membacakan Puisi di Under Poetic Stars (Arsip MIWF 2017)
Jokpin & Sapardi saat In Conversation with Sapardi Djoko Damono (Arsip twitter.com/shintafebrianys)


MIWF 2019 – Jokpin hadir mengisi dua agenda diskusi, ‘Dunia Sastra Tak Kenal Minoritas/Mayoritas’ dan peluncuran bukunya ‘Srimenanti’ bersama Aan Mansyur.

Jokpin membaca puisi ‘Baju Bulan’ di malam Under The Poetic Star (Arsip MIWF 2019)
Peluncuran Buku Srimenanti Joko Pinurbo, dimoderatori oleh Aan Mansyur (Arsip MIWF 2019)



MIWF 2023 – Di MIWF terakhirnya, Jokpin mengisi rangkaian agenda yang cukup padat. Di hari pertama kedatangan, paginya Jokpin sudah bertemu dengan 5 penggemarnya dalam ‘On the Table: Poem, Breakfast Bersama Joko Pinurbo’, kemudian dilanjutkan saat sore dengan ‘Launching Buku: Rukun Ranah’ bersama Mosyuki Borhan dan pemandu Shinta Febriany, dan tentu saja malamnya Beliau mengisi panggung Under Poetic Stars dengan puisi-puisinya. Kemudian besok, Jokpin hadir sebagai pembicara pada agenda diskusi ‘Interfaith: Solidaritas dan Keberagaman’ bersama Theoresia Rumthe, Mosyuki Borhan dan dipandu oleh Aan Mansyur. Sayangnya Jokpin harus kembali ke Jogja sebelum hari puncak MIWF tiba.

*’On the Table: Poem, Breakfast Bersama Joko Pinurbo’

*’Launching Buku: Rukun Ranah’

*’Under Poetic Stars’

*’Interfaith: Solidaritas dan Keberagaman’

Joko Pinurbo adalah salah satu sastrawan terbaik yang pernah dimiliki tanah air yang telah menjadi abadi dalam karya-karyanya, di antara mereka yang pernah hadir di MIWF dan pernah saling berbagi nilai. Kepada mereka yang telah berpulang: Alm. Ahmad Nirwan Asuka, Alm. Sapardi Djokodamono, Alm. Chalvin Papilaya (Emerging Writers MIWF 2016), Almh. Lily Yulianti Farid dan Alm. Joko Pinurbo, terima kasih.