SA/TU: Setiap Orang Saat Ini Memiliki Cerita dan Dunia Adalah Arsip

Oleh: Ibe S. Palogai

Menyalin kenangan menjadi tulisan bukanlah tindakan sejarah tetapi tindakan ingatan, yang separuh runutannya rusak oleh rampaian mimpi, mantra, dan akar yang liar.

Saya baru-baru ini mendengar satu cerita yang menarik tentang gadis kecil berusia enam tahun yang sedang mengikuti kelas menggambar di sekolahnya – dia duduk di meja paling belakang dan menggambar. Menurut gurunya, gadis ini memiliki kesulitan dalam memahami mata pelajaran, tetapi ketika kelas menggambar, dia menjadi sangat bersemangat. Guru itu kagum dan berjalan ke arah gadis tersebut. “Apa yang sedang kamu gambar?” Tanya guru itu. Gadis itu menjawab tuhan. Gurunya segera menimpali, “tetapi tidak ada satu pun orang yang tahu bagaimana bentuk tuhan.” Gadis kecil itu kemudian menjawab, “tenang saja, sebentar lagi mereka akan tahu.” Lalu gadis itu melanjutkan usahanya.

Yap, sejak kecil, kita telah tumbuh dalam satu sistem pendidikan yang bertumpu pada hierarki yang aneh. Di tempat paling atas adalah matematika. Setelah itu yang berhubungan dengan manusia. Lalu yang paling di bawah adalah seni. Dan ini terjadi hampir di seluruh dunia. Guru kita hanya menganggap murid yang dapat memahami matematika sebagai murid yang pintar, yakan?

Kenapa misalnya tidak ada yang mengajari anaknya melukis setiap hari seperti kita dulu dipaksa setiap hari untuk memahami matematika? Matematika memang penting, dan sama pentingnya dengan painting – melukis.

Apakah ini yang menyebabkan luaran pendidikan kita kemudian, tentang siapa yang memenangkan apa? Siapa yang pantas mendapatkan penghargaan apa? Dan siapa yang sukses menjadi apa? Ketika kita balita, bagian tabuh paling aktif adalah kaki. Kita sering melihat anak kecil yang sepertinya memiliki dua paru-paru dan empat jantung yang digunakan untuk menunjang keaktifan jelajahnya. Ketika beranjak menuju remaja, pendidikan mulai difokuskan ke bagian pinggang ke atas. Lalu untuk menjadi dewasa, pendidikan mulai difokuskan di bagian kepala – seakan-akan kita tidak punya tangan, kaki, atau badan lagi yang menunjang keberadaan kepala.

Harusnya, jika kita setuju dengan sistem pendidikan semacam itu, maka untuk disebut sukses, kita berakhir di kampus dan menjadi profesor. Ketika menempuh pendidikan sebagai mahasiswa, saya merasa guru besar yang mengajari saya sintaksis adalah orang yang hidup di dalam kepalanya. Seakan-akan tubuh hanya kendaraan bagi kepalanya. Tubuh adalah alat yang membawa kepalanya ke ruang senat untuk rapat.

Lantas, apa yang mendasari sehingga sistem pendidikan kita seperti ini sekarang? Sebelum abad 19, tidak ada yang namanya sistem pendidikan publik. Kebutuhan ini muncul untuk memenuhi sistem industrialisasi. Model pendidikan semacam ini memiliki dua ide utama, pertama, subjek paling berguna untuk pekerjaan berada di paling atas. Jadi kita mungkin diarahkan untuk menjauhi tempat-tempat tertentu di sekolah karena itu akan membuat kita kesulitan mendapatkan pekerjaan. Dan yang kedua adalah kemampuan akademis, yang telah mendominasi cara pandang kita terkait kecerdasan. Kenapa sistem pendidikan kita secara berlarut-larut didesain untuk membawa kita ke universitas? Sehingga banyak orang yang cerdas dan pintar berpikir bahwa diri mereka tidak bisa apa-apa. Karena apa yang kita lakukan dengan baik di sekolah dianggap salah atau buruk.

Data Unesco mengatakan, 7 tahun lagi – ini dimulai sejak tahun 2006, kita akan surplus sarjana dan ini menjadi ancaman inflasi akademis. Jadi kita butuh memikirkan kembali secara radikal cara pandang kita terhadap kecerdasan. Kita tahu tiga hal tentang kecerdasan. Pertama kecerdasan itu beragam. Kita memikirkan tentang dunia dengan beragam cara, kita berpikir secara visual, kita berpikir secara suara, kita berpikir secara kinestesis, kita berpikir dalam istilah abstrak, kita berpikir dalam pergerakan. Kedua kecerdasan itu dinamis. Jika kita belajar tentang neuro, kecerdasan itu sangat interaktif. Otak kita tidak dipilah ke dalam ruang terpisah. Faktanya, kreativitas – sesuatu yang kita definisikan sebagai proses mendapatkan ide organik lebih sering muncul dari interaksi interdisipliner yang membantu kita melihat sesuatu dengan cara yang berbeda.

Pada hari pertama antologi manusia, kita membicarakan hubungan makanan dan buku yang difasilitatori oleh Wilda, Ashari, dan Lemon. Lalu kita membicarakan buku puisi Ibe dari perspektif seorang musisi dan fotografi. Malamnya, kita memasuki pameran dan mendengar puisi Ibe dibacakan oleh robot melalui perantara Adin yang digunakan sebagai sarana penghubung dan terhubung dengan bagaimana kita melihat instalasi seni media baru Jasmin merespons galeri. Hari kedua, kita mulai dengan mengobrolkan foto sebagai praktik dokumentasi punggung bersama Zizi yang dilanjutkan membicarakan hubungan kota, anak muda, sejarah, dan digital bersama Vini Mamonto dan Adi Rais. Malamnya, kita mendengar proses Antropos menerjemahkan rangkuman hasil riset, pengolahan data menjadi naskah pertunjukan Batang-batang Rupama hingga tuntas menjadi buku. Tidak berhenti di situ, kita melanjutkan percakapan tentang gagasan komune bersama Kapal Udara yang meluncurkan klip musik yang juga disutradarai oleh Rachmat.

Jadi apa yang sebenarnya kita rayakan? Yup, himpunan imajinasi manusia yang senantiasa terbuka sehingga kita bisa memasukinya dengan cara kita yang paling apa adanya.

Catatan Tambahan

Relawan 

Ibe S. Palogai

Erika Rachma Aprilia

Rejeky Kene

Ayu Puspa F

Hirah Sanada

Andika Catur Prasetyo A

⁠⁠Fathur Rahma Bahtiar

⁠Andi Dea Amalia

Muhammad Mifta

⁠⁠Aisyah Permata Rosadi

Fikram Azhari

⁠Adhitya Permana

⁠⁠Rahmida Hayati

Nurkhalifa

⁠Trian Rezki 

Dwi Ugha

15 Program 

42 Fasilitator dan Narasumber

763 interaksi manusia selama kegiatan

 

Catatan Tambahan

  1. Kebenaran tertinggi yang dapat ditemukan seseorang berakar pada dunia alami.
  2. Ketika kita berbicara tentang hidup kita, panjang atau pendek, singkat dan tragis atau abadi di luar pemahaman, kita memaksakan sebuah kesinambungan pada hidup kita, dan kesinambungan itu adalah sebuah kebohongan.
  3. Cara kita–Cara Barat–selalu menjadi “pekerjaan yang terus berlanjut.” Pertanyaan tentang hidup dan mati, baik dan jahat, keadilan dan tragedi–ini tidak pernah diselesaikan secara definitif, tetapi harus dibahas berulang kali seiring dunia pribadi dan publik bergeser dan berubah. Kita menganggap moral kita sebagai sesuatu yang mutlak, tetapi konteks tindakan dan keputusan kita selalu berubah. Kita bukan penganut relativisme karena kita berusaha mengevaluasi ulang posisi moral kita yang paling penting berulang kali.