Gorilla: Pecahan Tanah Penuh Luka

Oleh: Khomeiny Imam

Semua foto oleh Aziziah Diah Aprilya

Jika melihat masa lalu, jelas sejarah dunia penuh kekerasan. Jejak-jejaknya yang hadir di sekitar kita juga tidak luput dibangun di atas genangan darah dan tumpukan mayat. Beberapa di antaranya timbul menjadi narasi mayor, beberapa harus tetap tertimbun dalam-dalam, implisit dan mesti digali.

Sejarah kelam gerilya DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) di Sulawesi Selatan misalnya, yang menjadi salah satu sejarah pemberontakan terlama di Indonesia ternyata masih banyak menimbun deretan lubang eviden di antara rentetan catatannya yang kelam. Konon, beberapa daerah di Sulawesi Selatan yang pernah dijadikan kanton DI/TII, sebagian warganya masih menganggap bahwa Kahar Muzakkar sebagai sosok yang memimpin pemberontakan itu yang telah ditetapkan mati ditembak oleh militer Indonesia pada 3 Februari 1965 di Kecamatan Lasolo, Konawe Utara, masih dianggap hidup sampai saat ini. Wallahu alam bishawab.

Kian masa, wacana sejarah kerap menjadi kebutuhan utama dalam banyak praktik kesenian. Sebagai seorang seniman performans, kira-kira itu yang dilakukan oleh Rachmat Mustamin, menggali pecahan sejarah penuh luka atas tragedi Islamisasi DI/TII di kampungnya Bone, melalui sang nenek.

Di Desa Solo’, Kecamatan Lappariaja Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan, adalah kampung di mana nenek Rachmat tinggal. Nama neneknya adalah Andi Manika. Dalam panggilan Bugis biasa disapa Puang Nika. Di desa itu, Puang Nika menyimpan rentetan memori kelam tentang agresi dan pemberontakan DI/TII, kendati beliau adalah salah satu perempuan yang tumbuh sebagai penyintas di masa itu, pada tahun 1950-1965.

Puang Nika adalah sosok yang gemar bercerita. Hal itu rupanya yang menemani masa kecil Rachmat tumbuh, dikelilingi oleh segudang kisah milik neneknya. Sehingga kisah tentang represi DI/TII rupanya masih cukup akrab di telinga Rachmat ketika dirinya telah beranjak dewasa. Pun hingga saat ini, setiap kali ditemui, Puang Nika masih saja mempunyai banyak penggalan kisah yang ia simpan untuk diceritakan lagi kepada Rachmat. Kisah-kisah seperti mayat yang ditemukan di sekitar kebun, di tepi sungai, orang-orang yang mati ditembak, atau rumah-rumah yang dibakar. Atau kisah tentang dirinya yang pernah melarikan diri dan kabur ke hutan selama beberapa pekan, akibat seluruh warga pada masa itu dipaksa untuk memeluk agama Islam, dan beliau tidak mau.

Puang Nika selalu menceritakan kisahnya menggunakan bahasa Bugis sebagai bahasa sehari-harinya. Beliau memilih untuk tidak menggunakan bahasa Indonesia, bahkan tidak ingin mempelajarinya. Alasannya sederhana, kata beliau tidak penting.

Setiap kali Puang Nika bercerita tentang kisahnya, gesturnya begitu bersemangat. Peristiwa-peristiwa kelam yang ia gambarkan dari masa lalu terasa masih sangat begitu jelas di ingatannya. Tidak heran, sewaktu muda sang nenek adalah penghafal Al-Quran atau hafidzah. Ketika tulisan ini dibuat, usianya sudah melampaui seratus tahun.

Rachmat kemudian berkesempatan untuk mencatat dan merekam kisah-kisah neneknya melalui program Ephemera #3 “Museum Of Untranslatable Stories” yang dicanangkan IVAA (Indonesian Visual Art Archive). Di mana memori sang nenek tentang tragedi di masa-masa itu – pemberontakan DI/TII – didefinisikan ulang sebagai arsip. Dikemas dan ditampilkan melalui presentasi publik dan performance lecturer di Rumata’ ArtSpace, yang berlangsung secara hybrid pada tanggal 29 Juli 2023 dengan judul “Gorilla: Pecahan Tanah Penuh Luka”. Kali ini kolaborator yang dilibatkan Rachmat adalah fotografer Aziziah Diah Aprilya dan Adin Amiruddin – seorang DJ dengan nama samaran Fictive Order.

Biasanya, menjelang satu hari sebelum acara pernikahan suku Bugis di Sulawesi Selatan, khususnya di Bone, para perempuan yang mayoritas adalah ibu-ibu dari kampung setempat akan berkumpul di rumah pengantin laki-laki untuk bergotong royong mengiris daging sapi. Mereka datang dengan membawa pisau masing-masing, lalu duduk mengitari terpal tenda yang telah dibentangkan sebagai alas. Sebelum agenda mengiris dimulai, sambil menunggu potongan-potongan daging datang, para kerabat terlebih dahulu akan membagikan batang pisang yang telah dipenggal-penggal sebagai pengganti talenan. Di sisi lain, kerabat laki-laki dan perempuan sedang memisahkan potongan organ sapi yang akan segera dibagi untuk diiris lagi menjadi lebih kecil. Daging sapi yang telah diiris itu nantinya akan disiapkan menjadi varian menu santap di hari puncak pernikahan.

Di galeri Rumata’, di hadapan para pengunjung, Rachmat sudah mengambil posisi duduk dan sedang memulai ceritanya tentang masa kecil.

Sewaktu kecil, dia tumbuh di dalam keluarga yang cukup kental dengan tuntutan dan cara hidup Islam. Rachmat adalah anak ke-tiga dari enam bersaudara yang semuanya dimasukan ke dalam pesantren. Hanya saudara pertamanya yang tidak. Kedua orang tuanya adalah Muslim yang taat. Bapaknya adalah pensiunan pegawai negeri di pengadilan dan seorang khatib. Semasanya kecil,  Rachmat adalah anak yang paling suka diajak dari semua saudaranya untuk menemani bapaknya memberikan ceramah di mesjid-mesjid saat hari Jum’at. Di saat masih pesantren, katanya dia adalah anak yang paling sering mewakili pesantrennya untuk mengikuti fashion show busana muslim. Dia juga pernah dipaksa oleh bapaknya untuk mengikuti lomba adzan di mana bapaknya sendiri adalah jurinya.

Ketika sedang bercerita tentang lomba adzan di masa kecilnya, Rachmat tiba-tiba berdiri dan membalikan badannya membelakangi pengunjung. Kemudian menghadap ke arah kiblat dan tiba-tiba saja melakukan adzan. Suara adzannya dibuat terdengar merdu oleh Fictive Order seperti suara adzan yang sering muncul di televisi.

Saat ini Rachmat sedang tinggal bersama kedua orang tuanya. Di dalam rumahnya, tidak boleh ada suara musik. Jika ingin mendengar musik, dia harus memakai headset. Atau hal yang akan dilakukan untuk menikmati musik secara leluasa adalah dengan masuk ke dalam mobil di garasinya, lalu menghabiskan satu album di situ. Di rumahnya tidak boleh memiliki pajangan foto atau objek visual seperti kalender yang menampilkan makhluk hidup. Jika ada, bagian itu harus digunting atau dihilangkan, barulah kalendernya boleh dipajang. Termasuk buku-buku bergambar yang ada di rak, tampilannya harus dibalik.

Di lain sisi, dia telah memilih meniti karier sebagai seorang sutradara dan seniman performans. Kerja-kerja yang dilakoninya tentu saja kerap berjahitan dengan visual tentang makhluk hidup. Sehingga menurutnya, apa yang terjadi di dalam rumahnya seakan seperti kutukan. Lantas, dia selalu mempunyai ambisi, mungkin di suatu saat nanti, dia akan mengadakan semacam pameran foto di dalam rumahnya, walau hanya semenit.

Kembali ke posisi bersimpuh.

Sembari mengutak-atik proyektor yang sedang menampilkan potongan foto-foto tentang rumahnya, Rachmat kembali melanjutkan ceritanya.

Rachmat adalah lulusan Universiti Kebangsaan Malaysia pada tahun 2014, yang kemudian melanjutkan gelar masternya di Program Penciptaan Film Pascasarjana Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta.

Ketika sedang melanjutkan studinya di ISI Surakarta, dia kerap didorong untuk sering-sering pulang ke kampung halamannya atau kembali ke akar. Di mana capaian-capaian artistik atau nilai-nilai estetika, sebenarnya tidak berada jauh dari tempat di mana dia berasal. Lantas, sebagai seorang yang lahir di dalam keluarga berdarah Bugis, ketika memutuskan kembali ke kampung halamannya, Rachmat kemudian menganggap bahwa capaian dan nilai yang dimaksud di atas mungkin bisa dia temukan di dalam manuskrip I La Galigo. Lantas, tesis karya seni yang dia kerjakan adalah sebuah film eksperimental yang diangkat dari salah satu episode di naskah Bugis I La Galigo yang berjudul ‘Waliala’ atau Alam Arwah. Kendati Wailala inilah yang menjadi pintu masuk petualangan artistik Rachmat untuk bertemu dengan kisah-kisah milik sang nenek di mana itu juga sekaligus menjadi muassal karya-karyanya tentang sejarah DI/TII di Bone.

Di hadapan pengunjung yang ada di dalam galeri, Rachmat kemudian membacakan beberapa penggalan naskah dari karyanya ‘Sketsa-Sketsa Di Kebun Warisan’ yang berbicara tentang bagaimana konflik tanah warisan dan sejarah kelam DI/TII di Bone, Sulawesi Selatan.

Narasi Hantu 1:

Dingin sekali sampai saya rasa itu angin meraba tulang pinggulku.

Saya lihat pohon mulai merendah. Di kejauhan sana, hanya ada gunung ditutupi kabut.

Udara berwarna biru. Bukan gelap seperti arang di dapur.

Di hutan ini tak ada perangkat masak. Saya tinggalkan semuanya untuk menyelamatkan nyawa.

Saya hanya bisa lari ketika gerombolan itu datang.

Mengatakan gerombolan saja, saya masih gemetar ini.

Tubuh saya seperti dimasuki kecoa dari ketiak, selangkangan, kuku dan jari-jari, pantat, telinga.

Saya dengar kami akan dipaksa mengaji dan salat. Tapi saya masih menghafal surah Al Fil. Surah Al Kautsar. Dan, syahadat.

Hampir dua minggu saya dengan enam orang lain memutuskan pulang ke kebun, sembunyi di sana beberapa waktu siapa tahu gerombolan itu sudah pergi dan kembali ke hutan.

Daeng Amma, orang tua yang saya temui di hutan itu bilang kalau ia melihat gerombolan itu sudah berarak pergi, dua orang membawa barang yang terbungkus sarung. Satu lagi menggandeng senjata.

Ketika kami mencoba keluar dari semak, seorang gerilyawan mengejar kami.

Narasi Hantu 5:

Saya juga tidak yakin berapa bulan sudah berada di hutan. Mungkin dua bulan. Saya bertemu dengan beberapa orang dan menjadi akrab di sana.

Ada seorang lelaki yang kami jadikan pemimpin, namanya Ambo Tang. Dia dari desa Lili Riattang, orang-orang mendengarkan dan ikut apa maunya.

Di malam-malam hari, ia kerap bercerita bagaimana desa-desa di Bone bisa terbentuk. Saya bertanya padanya, kapan situasi ini bisa membaik. Dia malah mengatakan hal lain. Engka pitu pappasengna tau ogi e / ada tujuh nasehat orang Bugis ;

1. Lettu ni uluwa’ lotongna bulu lompo battang ko watattana e (sudah sampai rambut hitamnya Gunung Lompo Battang ke jalanan);

2. Urane mancaji makkunrai, makkunrai mancaji urane (Lelaki jadi perempuan, perempuan jadi lelaki)

3. Luttuni pappasang e (Pesan-pesan beterbangan // manusia mengirim surat dengan menerbangkan suratnya)

Sebelum menyelesaikan empat pesan lagi, seorang lain tiba ngos-ngosan mengabarkan kalau ia melihat gorilla tidak jauh dari tempat kami tinggal. Meninggalkan tempat kami sekarang adalah satu-satunya hal yang bisa kami lakukan.

Tiga hari kemudian, Ambo Tang meninggal, mungkin karena kelelahan. Tiga hari juga saya tidak berhenti menangis.

Naskah di atas seolah sedang mengajak kita untuk berhadapan langsung dengan sebuah gambaran peristiwa masa lalu, di mana ada banyak tersedia perasaan getir dan rasa takut untuk dimiliki oleh setiap orang. Suatu kehidupan yang diikelilingi oleh banyak senjata dan bentuk-bentuk pengawasan yang kadang kala berakhir malang.

Narasi Hantu itu bagaikan sekantong cerita yang dibawa datang Rachmat langsung dari tubuh-tubuh orang yang mati di hutan, di sawah, di kebun, di mana ada banyak kegetiran yang ditanam bersama mereka. Lantas ketika sudah mati pun, perasaan takut ketika dikelilingi banyak senjata masih terasa.

Dia seolah menyeret peristiwa-peristiwa itu ke dalam deretan bait yang kemudian memancing kita untuk bermain-main dengan perasaan dan imajinasi, di mana pertanyaan-pertanyaan sedang bersembunyi di antara gerombolan, nilai-nilai yang dipertahankan, dan adegan pembunuhan.

Kisah milik Puang Nika, secara tidak sengaja telah mengungkapkan secara gamblang betapa mengerikannya suatu rantai masa di mana perebutan bendera sebuah nilai harus berada di bawah bayang-bayang penaklukan pasukan bersenjata yang memaksa warga biasa untuk mengikuti apa yang tidak dikehendaki dan meninggalkan apa yang mereka yakini. Hal itu yang dirasakan oleh Puang Nika dan warga desa yang lain, tentang bagaimana upaya yang dilakukan gerilyawan DI/TII untuk menghilangkan bentuk keyakinan dan praktik-praktik tradisional, di mana tradisi masyarakat Bugis yang dianggap mistik dan menyimpang, dihabisi dengan cara-cara yang brutal.

Usianya telah melebihi seratus tahun, namun ingatan Puang Nika masih terlampau kuat. Ia masih bisa mengingat dengan jelas bagaimana perawakan dan gelagat dari para gorilla – sebutan untuk gerilyawan DI/TII yang berarti guerilla – pada masa itu. Selain pasukan DI/TII, ada juga beberapa pasukan bersenjata yang tersebar di kampungnya. Di waktu yang sama, terdapat tentara nasional yang datang dari pulau Jawa, pasukan Jepang atau Nippon dan Somba Balo. Tetapi yang paling menyeramkan dan paling jahat menurut Puang Nika adalah gorilla. Mereka berpakaian serba hitam, mengenakan topi dan menenteng senjata. Ada di mana-mana, di kebun, di sawah, di lapangan, mereka tersebar di semua tempat.

Jika ada perempuan yang mereka dapati tidak mengenakan hijab, perempuan itu akan langsung ditembak. Orang yang didapati sedang berpacaran juga langsung ditembak.

Di suatu hari, Puang Nika pernah didapati memakai kalung dan anting di badannya, semua perhiasan lantas dirampas begitu saja. Kakak pertamanya mati ditembak karena melawan. Tetangganya juga ada yang mati ditembak karena tidak memakai hijab. Beliau pernah dikejar dan lari masuk bersembunyi ke dalam rakeang –  sebuah langit-langit pada rumah panggung suku Bugis yang menjadi tempat penyimpanan hasil panen atau loteng.

Kadang jika pergi bertani, beliau sering menemukan ada mayat di kebunnya yang mati karena ditembak. Atau ketika pergi ke sungai, beliau juga sering menemukan tubuh yang sudah terkapar mati ditembak. Mayat-mayat yang ditemukan itu biasanya dikumpul lalu di kubur di desa bernama Bulu’ Bue, Parigi.

Adegan Memotong Daging

Rachmat kembali bersimpuh. Usai menceritakan kisah tentang sang nenek, dia kemudian membagikan beberapa batang pisang yang telah dipenggal-penggal  ke atas alas terpal diikuti pisau dan beberapa potongan daging. Menyusul  teh panas dan piring berisi pisang goreng yang disediakan di atas loyang.

Rachmat adalah seniman performans yang kerap menggunakan pendekatan interaktif saat melakukan pertunjukannya. Bagi beberapa orang, hal itu telah diduga dan diketahui. Pengunjung yang duduk di depannya pun dengan spontan mulai meraih pisau dan batang pisang itu, kemudian ikut mengiris bersamanya. Adegan mengiris daging yang mereka lakukan persis seperti apa yang dilakukan ibu-ibu di Bone.

Sebagaimana Rachmat di setiap performansnya, kehadiran karya-karyanya selalu berpijak pada panggung yang penuh dengan tafsir, yang dengan sengaja dia bangun di mana pengkhidmat seolah-olah didorong untuk meraba-raba setiap kemungkinan dan macam-macam persoalan yang ada di dalamnya. Sehingga melalui cara itu, bisa dilihat bagaimana Rachmat sedang berupaya membuka kemungkinan akan pemicu lahirnya sebuah perspektif baru.

Tak lama kemudian, terdengar sesuatu dari mulut speaker semacam suara potongan kalimat ketika Rachmat sedang berbicara tadi. Suara itu muncul begitu saja seperti kalimat-kalimat acak yang tidak terprediksi. Suara-suara itu sedang direkayasa oleh Fictive Order melalui seperangkat alat DJnya. Suara ketika Rachmat sedang membacakan Narasi Hantunya tadi terdengar seperti bersahutan di antara suara orang-orang yang sedang mengaji atau barzanji, mengiringi mereka yang sedang mengiris-iris daging di dalam galeri Rumata’ ArtSpace.

Sebuah persepsi ruang liminal kali ini terasa hadir dalam bentuk tabrakan nilai (dibaca agama dan tradisi) yang cukup elusif. Rachmat seolah-olah sedang mengundang masa di mana nilai-nilai itu pernah bertentangan, kemudian direkonstruksi ulang ke dalam ritual-ritual dan bermain di antara batas-batas nilai itu. Mengutak-atik persepsi tentang agama dan tradisi leluhur yang hari ini telah melebur dan berdampingan, dari sisa-sisa goresan demarkasi yang ditinggalkan keduanya di dalam diri seorang nenek, yang hari ini sedang berdiri sebagai monumen, di atas pecahan tanah penuh luka di mana tragedi tertanam dan dilupakan.

Tak lama berselang, dia menancapkan pisau ke batang pisang dan mengambil mic. Perlahan berdiri dan berbalik arah kemudian melakukan iqamah. Di antara lantunan iqamahnya, muncul bunyi semacam efek scratch yang coba mendistraksi nada iqamahnya. Setelah iqamah selesai, terdengar kembali suara orang sedang mengaji. Tapi kali ini terdengar seperti lebih kelam. Rachmat lalu mengambil selembar kertas yang ada di sampingnya. Sementara masih terdengar suara orang yang sedang mengaji, dia membacakan semacam hikayat tentang sang nenek:

Puang Nika minum susu beruang sekarang karena HB-nya kurang.

Setengah diminum pagi, setengahnya malam.

Pagi sekali, Nenek mencret dan membuat tangga penuh eek.

Sebab ia tak mau dimarahi oleh anaknya, sarung dan baju yang ia kenakan, ia buang begitu saja.

Sekarang tingkahnya seperti anak kecil.

Nenek menyapu pakai sapu lidi di bawah rumah, untuk mengusir ayam.

Dia telah selesai membacakan naskah terakhirnya. Tetapi suara orang mengaji masih terdengar. Lantas suara mengaji itu perlahan bertransisi menjadi ketukan yang terdengar seperti irama dangdut, yang kemudian pelan-pelan menjadi lagu koplo dengan liriknya yang berbunyi gerri gerri gerri… ci’da…

Pertunjukan selesai. Kisah tentang sang nenek telah dikemas dan diceritakan oleh Rachmat dengan gamblang. Dia lalu mengajak pengunjung membagikan pandangan mereka terkait apa yang telah mereka simak dan alami.

Rekaman siaran presentasi publik Gorilla: Pecahan Tanah Penuh Luka juga bisa ditonton di kanal youtube Rumata’ ArtSpace.

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *