Setelah jeda beberapa tahun, salah satu program unggulan dari Rumata’ ArtSpace, South East Asian Academy (SEAScreen Academy) kembali membentangkan layarnya di tahun ini. Melalui pengumuman Open Call yang dirilis pada tanggal 29 Maret lalu lewat akun Instagram resminya, SEAScreen Academy 2024 kembali dibuka.
SEAScreen Academy merupakan program pelatihan dan pengembangan film yang diprakarsai oleh sutradara film Riri Riza dan Rumata ’ArtSpace. Pertama kali digelar pada tahun 2012, SEAScreen menjadi agenda yang digelar tahunan sampai pada tahun 2018 dan satu edisi daring di tahun 2020. Program ini mencakup rangkaian agenda yang dikemas mulai dari pelatihan intensif tentang perfilman, seperti pertemuan kelas, lokakarya/workshop, pemutaran hingga produksi film. Diikuti oleh sineas-sineas muda dari Indonesia timur yang terpilih sebagai peserta dan didampingi oleh para praktisi film terbaik dari Asia Tenggara.
SEAScreen kali ini hadir dengan mengusung tema “Roots” atau ‘akar’ yang menggambarkan komitmen untuk menjelajahi dan merangkul akar budaya yang ada di Indonesia Timur, sekaligus mencakup semangat untuk menggali dan menghargai asal-usul, sejarah dan nilai-nilai yang melandasi cerita-cerita film. Selain mengangkat ‘akar’ sebagai tema, SEAScreen juga datang dengan konsep pelatihan yang diberi nama ‘Story Camp’, sebuah grup belajar di mana peserta akan didampingi oleh para mentor dari praktisi film terkemuka Asia Tenggara dengan rangkaian agenda diskursus tentang perfilman, mulai diskusi, lokakarya sampai masterclass dan lainnya, di mana grup belajar ini juga merupakan proyeksi sebuah forum yang berupaya membuka dialog seputar isu-isu terkini perfilman di Asia Tenggara.
Tentu saja kembalinya SEAScreen di tahun 2024 ini menjadi angin segar bagi sineas muda khususnya di wilayah Indonesia timur. Melihat di tengah derasnya ide-ide dan semangat berkarya yang terus bermunculan, SEAScreen menjadi wadah yang tepat bagi sineas muda untuk mengembangkan bakat perfilman mereka.
Peserta terpilih SEAScreen Academy 2024 akan diumumkan pada tanggal 1 Mei mendatang. Ikuti terus keberlanjutan SEAScreen Academy 2024 melalui akun Instagram SEAScreen Academy.
https://rumata.or.id/wp-content/uploads/2024/04/Roots.jpg1030824rumatahttps://rumata.or.id/wp-content/uploads/2018/10/logo.pngrumata2024-04-26 16:54:252024-04-26 16:54:26‘Roots’: SEAScreen Academy 2024
Kabar baik baru saja datang dari Perth Institute of Contemporary Art (PICA). Andi Nur Azimah telah tiba di kota Perth, Australia Barat pada Selasa (17/4).
Azimah adalah seniman residensi pertama dari Makassar yang terpilih dalam program pertukaran seniman Breeze: Makassar-Perth. Selama berada di Perth, Azimah akan mengeksplorasi hubungan tentang musik dan penceritaan antara orang Makassar dan Aborigin, sebagai upaya merawat hubungan yang telah terjalin empat abad silam.
Breeze: Makassar-Perth adalah program pertukaran seniman yang dicanangkan oleh PICA, bekerja sama dengan Rumata’ ArtSpace dan Universitas Negeri Makassar, serta didukung oleh Project Eleven. Program residensi ini membuka kesempatan bagi seniman untuk menjelajahi petualangan artistik dan mengembangkan hubungan budaya antara Australia Barat dan Makassar.
Bagi kamu seniman Makassar yang tertarik mengikuti residensi lintas benua bersama PICA, kesempatan ini juga bisa kamu dapatkan melalui Open Call selanjutnya. Pantau terus informasi mengenai perkembangan program Breeze: Makassar-Perth melalui akun instagram dan website Rumata’ ArtSpace.
https://rumata.or.id/wp-content/uploads/2024/04/Andi-Nur-Azimah-saat-tiba-di-Perth-Australia-Barat.jpg10801080rumatahttps://rumata.or.id/wp-content/uploads/2018/10/logo.pngrumata2024-04-26 16:47:342024-04-26 16:47:35Kabar Residensi Dari Breeze: Makassar-Perth
Selamat kepada para penulis yang telah ditetapkan oleh tim kurator MIWF 2024 sebagai Emerging Writers tahun ini. Pengumuman penulis terpilih tahun ini cukup penuh dengan kejutan. Nama-nama terpilih sebagai Emerging Writers MIWF 2024, ternyata tidak hanya lima orang seperti yang diumumkan sebelumnya, tetapi tujuh!
Mari berkenalan dengan tujuh Emerging Writers yang akan meramaikan panggung MIWF 2024 di bulan Mei ini.
Julia F. Gerhani Arungan (Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat)
Lahir di Lombok, 1982. Menulis puisi, cerita pendek, dan naskah drama. Sejumlah puisinya masuk dalam bunga rampai Seratus Penyair Perempuan (KPPI, 2014), Dari Negeri Poci 5: Negeri Langit (Komunitas Radja Ketjil, 2014), Taman Pitanggang (Akarpohon, 2015), dan Ibu (Antologi Kata, 2019). Menulis antologi puisi tunggal Ibuku Mengajari Bagaimana Mengisi Peluru (CV Halaman Indonesia dan Akarpohon, 2021). Sekarang bermukim di Sandik, Lombok Barat.
Nuraisah Maulida Adnani (Mataram, Nusa Tenggara Barat)
Nuraisah Maulida Adnani lahir di Tulungagung, Jawa Timur, 27 Januari 2001. Alumnus Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP, Universitas Mataram. Cerpen-cerpennya dimuat di berbagai media, baik online mau pun cetak. Saat ini bergiat di komunitas Akarpohon, juga mengelola perpustakaan Teman Baca, Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat.
Varla R. Dhewiyanti (Kubu Raya, Kalimantan Barat)
Penulis asal Kalimantan Barat, karya-karyanya banyak berbicara tentang isu kesehatan mental. Mulai menulis sejak bangku SMP, cerpen pertamanya Awan Kelinci terbit di majalah Bobo. Salah satu artikelnya tentang pengalaman berkunjung ke Kecamatan Selimbau, Kabupaten Kapuas Hulu dimuat Majalah Femina. Cerpennya berjudul Timi Mengenakan Senyum masuk 10 besar pemenang Sayembara Cerita Kesehatan Mental “Nuraga” yang diadakan Penerbit Sekala Kecil dan Rumah dengan Telinga dimuat dalam Antologi Bersama “Rahasia Keluarga” Vol.2 – Okky Madasari dan Alumni OM Institute. Karyanya yang lain juga mengangkat tema sama berjudul Pernikahan, Pasta Gigi, dan Kalimat-Kalimat Panjang yang Memusingkan.
Yuan Jonta (Manggarai, Nusa Tenggara Timur)
Yuan Jonta adalah alumni Psikologi Universitas Sanata Dharma yang tinggal di Ruteng, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur. Dia juga seorang pegawai negeri sipil di Pemkab Manggarai yang aktif bergiat bersama Klub Buku Petra Ruteng. Beberapa cerpennya pernah dimuat di Bacapetra, Tempo, dan Kompas. Pada Tahun 2023, Yuan Jonta menjadi salah satu peserta terpilih dalam Sayembara Pembaca Flores Writers Festival.
Dunstan Obe (Kupang, Nusa Tenggara Timur)
Lahir di Dili, 19 Mei 1998. Menulis puisi, esai, dan kritik sastra. Karya-karyanya telah disiarkan di sejumlah media cetak dan daring. Bergiat di Komunitas Sastra Dusun Flobamora, Kupang. Ia terpilih sebagai salah satu pemenang Sayembara Membaca Flores Writers Festival (2021). Alumnus Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Katolik Widya Mandira.
Novan Leany (Samarinda, Kalimantan Timur)
Asal Samarinda, Kalimantan Timur. Pegiat seni dan pencinta kopi. Telah menerbitkan buku pertamanya “Eufolina” pada tahun 2019. Puisi-puisinya pernah tayang di berbagai media massa, antara lain Koran Tempo, Mata Puisi, Koran Sumbar dan Beritabaru.co. Kini bergiat di komunitas Macandahan. Dalam waktu terdekat pula sedang berproses untuk persiapan buku antologi puisi keduanya dan sekarang menetap di Yogyakarta melanjutkan pendidikan studi S2 psikologi.
Andi Batara Al Isra (Makassar, Sulawesi Selatan)
Andi Batara Al Isra menyelesaikan program sarjana di bidang Antropologi, Universitas Hasanuddin dan melanjutkan studinya ke jenjang master di the University of Auckland, New Zealand dengan jurusan yang sama. Selain menulis artikel jurnal dan laporan penelitian, Batara juga menulis cerpen dan puisi. Cerpennya berjudul “Mengenang Padewakkang” diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris oleh Dalang Publishing, sebuah penerbit yang berbasis di Californa. Buku solo pertamanya adalah kumpulan puisi “Di Seberang Gelombang” (2019). Saat ini, dia aktif sebagai dosen di Departemen Antropologi Unhas dan sebagai peneliti juga editor di Yayasan Antropos Indonesia. Batara dan tim Antropos baru saja menerbitkan buku tentangRumata’ Dua Belas Tahun Membangun Kebudayaan.
https://rumata.or.id/wp-content/uploads/2024/04/Emerging-Writers-MIWF-2024.jpg13501080rumatahttps://rumata.or.id/wp-content/uploads/2018/10/logo.pngrumata2024-04-26 16:45:322024-07-01 06:26:50Berkenalan Dengan Emerging Writers MIWF 2024
Pada Selasa (5/3/2024), teman-teman kolektif Tim 7 mengadakan diskusi perihal Strategi dan Taktik di Rumata’ Art Space. Diskusi dengan judul “Jalan Setapak Tak Bertuan” ini dihantarkan oleh Ryan Akmal Suryadi yang merupakan salah satu anggota Tim 7.
Bermula di Kota Makassar pada 2022 lalu, Tim 7 berkomitmen untuk membuka ruang transformasi pengetahuan yang bisa diakses oleh siapa saja. Tim 7 sedang berupaya menapaki jalan setapak dalam rangka merawat cita-cita akan ‘gagasan hidup bersama’, sebuah imajinasi tentang hidup dengan prinsip kesetaraan bagi semua.
Melalui diskusi yang diikuti sekitar dua puluh peserta dari berbagai latar belakang ini, diharapkan mampu menjadi wadah untuk merancang strategi dan taktik yang sesuai dengan konteks masing-masing. Menurut Ryan, alasan diskusi ini diberi judul “Jalan Setapak Tak Bertuan” oleh Tim 7 karena isinya seumpama jalan setapak yang tidak bertuan, artinya tidak ada blueprint soal teknis strategis seperti apa.
“karena strategi dan taktik yang isinya sebenarnya itu ya, perumpama (seumpama) jalan setapak begitu, yang tidak bertuan karena tidak ada blueprint soal teknis strategis seperti apa, mesti disesuaikan dengan konteks masing-masing, makanya itu framing materinya (makanya) itu jadi perihal merancang strategi dan taktik. gerakan, (seperti itu),” kata Ryan saat diwawancarai (5/3/2024).
Kegiatan serupa diskusi seperti ini telah dilakukan Tim 7 di beberapa komunitas, kolektif di Kota Makassar, termasuk Rumata’ Art Space.
“Sebelum ke Rumata’ Art Space, Tim 7 juga sudah melaksanakan agenda diskusi juga sama beberapa kegiatan di beberapa komunitas, kolektif di Kota Makassar. Kata Kerja, Riwanua, Kampung Buku, Siku Ruang Terpadu, dan Pemeriksaan Kesehatan Gratis di Bara Baraya. Ini titik keenam di Rumata’ Art Space sekaligus hari terakhir,” jawab Ryan.
Rumata’ Art Space menjadi salah satu pilihan untuk dijadikan lokasi berlangsungnya diskusi tidak luput dari komitmen yang dibawa bersama tentang pengembangan ilmu pengetahuan dan karya, khususnya di bidang literasi. Selain itu, Rumata’ Art Space juga merupakan jaringan strategis sekaligus wadah penghubung bagi banyak komunitas dan masyarakat.
“Kenapa Rumata’ karena Rumata’ itu menurut Tim 7 salah satu jaringan strategis ya, menurutnya Tim 7 punya irisan pada frekuensi pengembangan ilmu pengetahuan dan karya, begitu, literasi khususnya (seperti itu),” tutup Ryan.
https://rumata.or.id/wp-content/uploads/2024/03/WhatsApp-Image-2024-03-14-at-16.04.43_304a59ff-scaled.jpg14402560rumatahttps://rumata.or.id/wp-content/uploads/2018/10/logo.pngrumata2024-03-14 08:09:512024-03-14 08:11:46Tim 7 Diskusi Soal Strategi dan Taktik di Rumata’ ArtSpace
Jakarta – Setelah 10 tahun mengembangkan kamus digital Bahasa Bali, di tahun 2024 BASAibu Wiki kembali meluncurkan 2 kamus sekaligus, yakni Bahasa Makassar dan Banjar, yang dikembangkan dan dikelola oleh BASAsulsel Wiki bersama mitra komunitas Rumata’ ArtSpace, dan BASAkalimantan yang berkolaborasi dengan Komunitas Akademi Bangku Panjang Minggu Raya (ABPM) dan Sanggar Belajar Mahabbatun Nabi Barambai di Kalimantan Selatan.
Kamus digital bahasa daerah Makassar dan Banjar tersebut resmi diluncurkan secara hybrid di @america Pacific Place Mall Lantai 3 #325 Jl. Jendral Sudirman, Jakarta, pada Kamis (8/03/2023).
Agenda peluncuran itu berjalan dengan rangkaian acara berupa diskusi tentang Bahasa Daerah yang diisi oleh narasumber Drs. I Gde Nala Antara, M.Hum. (BASAibu Wiki), Putu Eka Gunayasa (BASAbali Wiki), Ita Ibnu (BASAsulsel Wiki), dan Hudan Nur (BASAkalimantan Wiki). Adapun lomba bagi para hadirin yang ada di Jakarta maupun di Makassar. Acara tersebut semakin meriah dengan diramaikan oleh performance dari rapper Jflow yang mengajak para hadirin untuk memberikan sepatah kata dalam Bahasa Daerah yang kemudian dijadikan sebagai materi di lirik lagu dan dimainkan pada saat itu juga.
Dilansir dari SHNet, Hudan Nur, pegiat literasi dari BASAkalimantan Wiki mengatakan, BASAkalimantan Wiki merupakan terobosan mutakhir, dan digitalisasi Bahasa Banjar berbasis wiki adalah upaya merawat Bahasa Daerah yang hampir punah.
“Bahasa Banjar secara nyata menjadi ‘lingua franca’, bahasa yang acap dipakai sebagai penghubung antara Banjar dengan Dayak (selaku penduduk asli Kalimantan),” pungkas Hudan, yang aktif berkegiatan literasi di Kalimantan Selatan.
Penjelasan juga datang dari Managing Director BASAbali Wiki, Putu Eka Guna Yasa soal alasan mengapa bahasa Makassar bisa terpilih. Menurutnya karena penuturnya relatif besar, sehingga langkah digitalisasi merupakan upaya yang tepat agar penutur asli dapat mendokumentasikan warisan bahasa mereka melalui platform digital kreatif.
Guna Yasa juga menjelaskan terkait bahasa Banjar, menurutnya BASAkalimantan Wiki merupakan langkah yang penting merujuk pada lokasinya yang akan berdekatan dengan Ibu Kota Nusantara. “Kita tahu ada ibu kota negara Nusantara yang dibangun di Kalimantan. Oleh sebab itu, bahasa yang penting di Kalimantan adalah bahasa Banjar,” tuturnya.
Ita Ibnu, sebagai pengelola BASAsulsel Wiki mengungkapkan bagaimana kaum muda di Makassar merespons isu-isu sosial di masyarakat dengan Bahasa daerah. “Kita kolaborasi dengan Balai Bahasa dan alhamdulillah sudah ada kamus digital,” pungkasnya.
Kekuatan Bahasa Daerah
Acara peluncuran itu juga dihadiri oleh sutradara dan penulis skenario kelahiran Makassar, Riri Riza, yang ikut berpatisipasi dalam upaya merawat bahasa daerah yang menurutnya sangat penting untuk dilestarikan.
‘Bahasa daerah bisa menjadi kekuatan ketika semua hal berkembang secara generik”
“Kota Makassar sangat dinamis baik dalam bidang seni, budaya, dan juga film. Ada sejumlah film lokal yang hanya diputar di sana,” tuturnya.
Selain peluncuran kamus digital, kabar baik juga datang bagi BASAsulsel Wiki dan mitra pengelolanya Rumata’ ArtSpace yang mendapatkan dukungan penuh dari Kedutaan Besar Amerika Serikat melalui U.S Ambassador’s Fund for Cultural Preservation (AFCP) yang akan berjalan hingga tahun 2025 mendatang untuk mengembangkan kamus digital Bahasa Makassar.
Kini, kamus digital Bahasa Makassar telah tersedia dan bisa kunjungi di website BASAsulsel Wiki basasulselwiki.org
https://rumata.or.id/wp-content/uploads/2024/03/WhatsApp-Image-2024-03-14-at-12.49.44_4bc0e3b2-scaled.jpg17072560rumatahttps://rumata.or.id/wp-content/uploads/2018/10/logo.pngrumata2024-03-14 07:44:002024-03-14 07:46:32Merawat Bahasa Daerah, BASAsulsel Wiki dan BASAkalimantan Wiki Meluncurkan Kamus Digital Bahasa Makassar dan Banjar
Pada Senin pagi (5/2/24) Rumata’ ArtSpace kedatangan kunjungan dari perwakilan Kedutaan Besar Amerika Serikat dari Jakarta, Deputy Cultural Attace’ Abraham Y. Lee dan Konsulat Jenderal Amerika Serikat dari Surabaya Joshua Shen bersama Information Resource Center Director Christian N. Simanullang di Makassar.
Kunjungan tersebut bertujuan membahas potensi kerja sama antara Rumata’ ArtSpace dan Kedutaan Besar Amerika Serikat perihal penyediaan wadah informasi berupa American Corner dan Education USA atau layanan konsultasi pendidikan Amerika Serikat di Rumata’ ArtSpace. Kedatangan itu disambut baik oleh Rachmat Mustamin, Itha Ibnu dan Ifdhal Ibnu selaku perwakilan Rumata’.
American Corner merupakan program kerja sama antara Kedutaan Besar Amerika Serikat dengan Indonesia yang saat ini sedang berjalan di beberapa universitas yang tersebar di seluruh Indonesia, yang dibentuk sebagai wadah informasi berupa pendidikan, politik, budaya, dan hal lainnya mengenai Amerika Serikat. Biasanya wadah tersebut dipenuhi oleh banyak jenis buku yang bisa dijadikan sebagai sumber untuk mengenal tentang Amerika Serikat atau agenda-agenda volunteering dan program-program yang beragam seperti bedah beasiswa, bedah budaya, diskusi, dan hal-hal lainnya.
Rumata’ menjadi salah satu pilihan kerja sama sebab dinilai merupakan wadah penghubung bagi banyak komunitas dan masyarakat untuk saling bertemu dan berbagi banyak hal dalam seni dan kebudayaan di Kota Makassar. Pertemuan itu berlangsung hangat di halaman belakang yang ditemani beragam obrolan dengan kopi dan kue-kue khas Makassar.
https://rumata.or.id/wp-content/uploads/2024/02/WhatsApp-Image-2024-02-25-at-15.54.04-2-scaled.jpeg19202560rumatahttps://rumata.or.id/wp-content/uploads/2018/10/logo.pngrumata2024-02-25 11:23:092024-02-25 12:41:41Kunjungan Kedutaan dan Konsulat Jenderal Amerika ke Rumata’
Hasil kajian kebahasaan yang dilakukan oleh Badan Bahasa setiap tahun menunjukkan adanya kekhawatiran besar yang melanda bangsa ini, yakni terdapat delapan bahasa dikategorikan punah, lima bahasa kritis, 24 bahasa terancam punah, 12 bahasa mengalami kemunduran, 24 bahasa dalam kondisi rentan (stabil tetapi terancam punah), dan 21 bahasa berstatus aman. Punahnya bahasa daerah di era globalisasi ini merupakan permasalahan serius ini, agar warisan budaya tak benda ini tidak hilang perlahan ditelan masa diperlukan upaya kolaboratif untuk merawat bahasa daerah.
BASAibu Wiki adalah organisasi yang mendorong kaum muda untuk menyuarakan pendapat mereka melalui platformdigital dalam bahasa ibu atau bahasa lokal yang diinisiasi dan diorganisir oleh BASAbali. BASAibu memperkuat peran kaum muda untuk mengatasi masalah-masalah kewarganegaraan dengan pemerintah melalui platform digital yang dikembangkan oleh masyarakat dalam bahasa daerah sekaligus memperkuat penggunaan bahasa-bahasa tersebut. Dengan dukungan dari berbagai pihak, inisiatif ini direplikasi di daerah lain. Salah satunya di Sulawesi Selatan, yang disebut BASAsulsel Wiki pada tahun 2020, berkolaborasi dengan mitra lokal Rumata’ Art Space. Satu lagi di Kalimantan, bernama BASAkalimantan Wiki berkolaborasi dengan Akademi Bangku Panjang Minggu Raya (ABPM) dan Sanggar Belajar Mahabbatun Nabi Barambai di Kalimantan Selatan. Replikasi pengembangan kamus digital BASAsulsel Wiki dan BASAkalimantan Wiki merupakan dukungan The U.S. Ambassadors Fund for Cultural Preservation (AFCP) dari Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta yang berjalan selama 2 tahun (2023-2025). Untuk mendapatkan informasi tentang BASAsulsel Wiki dan BASAbali Wiki dapat mengunjungi basasulselwiki.org dan basabaliwiki.org
Aspek unik dari kamus ini adalah bahwa kamus ini diproduksi bersama oleh masyarakat. Masyarakat diundang untuk mengirimkan contoh kalimat dalam bentuk teks dan video yang menggunakan kata-kata dalam konteks, sehingga kamus ini menjadi hidup dengan penggunaan aktual yang digunakan oleh orang-orang yang sebenarnya seperti yang mereka ucapkan saat ini. Kompetisi berkala (“Wikithons”) mendorong generasi muda untuk berpartisipasi dalam mengembangkan sumber daya gratis ini untuk komunitas lokal dan dunia yang lebih luas.
Inisiatif ini mencoba mendorong keterlibatan aktif generasi muda dalam menggunakan bahasa daerah dengan mengembangkan kamus digital bahasa Makassar di BASAsulsel Wiki dan bahasa Banjar di BASAkalimantan Wiki. Program yang rencananya akan dilaksanakan dalam 2 tahun (2023-2025) ini bertujuan untuk memberdayakan masyarakat untuk menggunakan berbagai bahasa daerah di dunia digital modern. Platform ini membantu masyarakat untuk melindungi dan memperkuat bahasa mereka dengan cara-cara yang penting bagi mereka, dengan memanfaatkan teks-teks tradisional, literatur, media sosial, ritual, tradisi lisan, dan percakapan sehari-hari. Tutorial membuat akun di BASASulsel Wiki kunjungi tautan …..
Untuk itu BASAibu Wiki akan melaksanakan Peluncuran Kamus Digital BASASulsel Wiki dan BASAkalimantan Wiki yang dilaksanakan secara luring pada:
Hari/Tanggal : Kamis, 7 Maret 2024 Waktu : Pukul 16.00 – 18.00 WIB (Agenda terlampir) Tempat : @america Pacific Place Mall 3rd floor #325 Jl. Jendral Sudirman, Kav.52-53 Kebayoran Baru, South Jakarta, 12190
Registrasi melalui tautan
Panitia menyediakan penggantian transportasi dan E Sertifikat.
Tujuan
Memperkenalkan serta mempromosikan kamus digital BASASulsel Wiki dan BASAkalimantan Wiki kepada stakeholder di tingkat nasional.
Membangun kerja sama baru dan peluang kolaborasi dengan stakeholders di tingkat nasional dalam pemanfaatan kamus digital BASASulsel Wiki dan BASAkalimantan Wiki
Melaksanakan Wikithon Kamus Digital BASAsulsel Wiki
Output
Eksposur Kamus digital BASASulsel Wiki dan BASAkalimantan Wiki kepada stakeholder di tingkat nasional.
Kerja sama dan peluang kolaborasi dengan stakeholders di tingkat nasional dalam pemanfaatan kamus digital BASASulsel Wiki dan BASAkalimantan Wiki
https://rumata.or.id/wp-content/uploads/2024/02/WhatsApp-Image-2024-02-22-at-19.21.29.jpeg16001600rumatahttps://rumata.or.id/wp-content/uploads/2018/10/logo.pngrumata2024-02-22 13:12:112024-02-22 13:12:59Peluncuran Kamus Digital BASAsulsel Wiki dan BASAkalimantan Wiki oleh BASAibu Wiki & The U.S. Ambassadors Fund for Cultural Preservation (AFCP) – Kedutaan Besar Amerika di Jakarta
Jika melihat masa lalu, jelas sejarah dunia penuh kekerasan. Jejak-jejaknya yang hadir di sekitar kita juga tidak luput dibangun di atas genangan darah dan tumpukan mayat. Beberapa di antaranya timbul menjadi narasi mayor, beberapa harus tetap tertimbun dalam-dalam, implisit dan mesti digali.
Sejarah kelam gerilya DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) di Sulawesi Selatan misalnya, yang menjadi salah satu sejarah pemberontakan terlama di Indonesia ternyata masih banyak menimbun deretan lubang eviden di antara rentetan catatannya yang kelam. Konon, beberapa daerah di Sulawesi Selatan yang pernah dijadikan kanton DI/TII, sebagian warganya masih menganggap bahwa Kahar Muzakkar sebagai sosok yang memimpin pemberontakan itu yang telah ditetapkan mati ditembak oleh militer Indonesia pada 3 Februari 1965 di Kecamatan Lasolo, Konawe Utara, masih dianggap hidup sampai saat ini. Wallahu alam bishawab.
Kian masa, wacana sejarah kerap menjadi kebutuhan utama dalam banyak praktik kesenian. Sebagai seorang seniman performans, kira-kira itu yang dilakukan oleh Rachmat Mustamin, menggali pecahan sejarah penuh luka atas tragedi Islamisasi DI/TII di kampungnya Bone, melalui sang nenek.
Di Desa Solo’, Kecamatan Lappariaja Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan, adalah kampung di mana nenek Rachmat tinggal. Nama neneknya adalah Andi Manika. Dalam panggilan Bugis biasa disapa Puang Nika. Di desa itu, Puang Nika menyimpan rentetan memori kelam tentang agresi dan pemberontakan DI/TII, kendati beliau adalah salah satu perempuan yang tumbuh sebagai penyintas di masa itu, pada tahun 1950-1965.
Puang Nika adalah sosok yang gemar bercerita. Hal itu rupanya yang menemani masa kecil Rachmat tumbuh, dikelilingi oleh segudang kisah milik neneknya. Sehingga kisah tentang represi DI/TII rupanya masih cukup akrab di telinga Rachmat ketika dirinya telah beranjak dewasa. Pun hingga saat ini, setiap kali ditemui, Puang Nika masih saja mempunyai banyak penggalan kisah yang ia simpan untuk diceritakan lagi kepada Rachmat. Kisah-kisah seperti mayat yang ditemukan di sekitar kebun, di tepi sungai, orang-orang yang mati ditembak, atau rumah-rumah yang dibakar. Atau kisah tentang dirinya yang pernah melarikan diri dan kabur ke hutan selama beberapa pekan, akibat seluruh warga pada masa itu dipaksa untuk memeluk agama Islam, dan beliau tidak mau.
Puang Nika selalu menceritakan kisahnya menggunakan bahasa Bugis sebagai bahasa sehari-harinya. Beliau memilih untuk tidak menggunakan bahasa Indonesia, bahkan tidak ingin mempelajarinya. Alasannya sederhana, kata beliau tidak penting.
Setiap kali Puang Nika bercerita tentang kisahnya, gesturnya begitu bersemangat. Peristiwa-peristiwa kelam yang ia gambarkan dari masa lalu terasa masih sangat begitu jelas di ingatannya. Tidak heran, sewaktu muda sang nenek adalah penghafal Al-Quran atau hafidzah. Ketika tulisan ini dibuat, usianya sudah melampaui seratus tahun.
Rachmat kemudian berkesempatan untuk mencatat dan merekam kisah-kisah neneknya melalui program Ephemera #3 “Museum Of Untranslatable Stories” yang dicanangkan IVAA (Indonesian Visual Art Archive). Di mana memori sang nenek tentang tragedi di masa-masa itu – pemberontakan DI/TII – didefinisikan ulang sebagai arsip. Dikemas dan ditampilkan melalui presentasi publik dan performance lecturer di Rumata’ ArtSpace, yang berlangsung secara hybrid pada tanggal 29 Juli 2023 dengan judul “Gorilla: Pecahan Tanah Penuh Luka”. Kali ini kolaborator yang dilibatkan Rachmat adalah fotografer Aziziah Diah Aprilya dan Adin Amiruddin – seorang DJ dengan nama samaran Fictive Order.
Biasanya, menjelang satu hari sebelum acara pernikahan suku Bugis di Sulawesi Selatan, khususnya di Bone, para perempuan yang mayoritas adalah ibu-ibu dari kampung setempat akan berkumpul di rumah pengantin laki-laki untuk bergotong royong mengiris daging sapi. Mereka datang dengan membawa pisau masing-masing, lalu duduk mengitari terpal tenda yang telah dibentangkan sebagai alas. Sebelum agenda mengiris dimulai, sambil menunggu potongan-potongan daging datang, para kerabat terlebih dahulu akan membagikan batang pisang yang telah dipenggal-penggal sebagai pengganti talenan. Di sisi lain, kerabat laki-laki dan perempuan sedang memisahkan potongan organ sapi yang akan segera dibagi untuk diiris lagi menjadi lebih kecil. Daging sapi yang telah diiris itu nantinya akan disiapkan menjadi varian menu santap di hari puncak pernikahan.
Di galeri Rumata’, di hadapan para pengunjung, Rachmat sudah mengambil posisi duduk dan sedang memulai ceritanya tentang masa kecil.
Sewaktu kecil, dia tumbuh di dalam keluarga yang cukup kental dengan tuntutan dan cara hidup Islam. Rachmat adalah anak ke-tiga dari enam bersaudara yang semuanya dimasukan ke dalam pesantren. Hanya saudara pertamanya yang tidak. Kedua orang tuanya adalah Muslim yang taat. Bapaknya adalah pensiunan pegawai negeri di pengadilan dan seorang khatib. Semasanya kecil, Rachmat adalah anak yang paling suka diajak dari semua saudaranya untuk menemani bapaknya memberikan ceramah di mesjid-mesjid saat hari Jum’at. Di saat masih pesantren, katanya dia adalah anak yang paling sering mewakili pesantrennya untuk mengikuti fashion show busana muslim. Dia juga pernah dipaksa oleh bapaknya untuk mengikuti lomba adzan di mana bapaknya sendiri adalah jurinya.
Ketika sedang bercerita tentang lomba adzan di masa kecilnya, Rachmat tiba-tiba berdiri dan membalikan badannya membelakangi pengunjung. Kemudian menghadap ke arah kiblat dan tiba-tiba saja melakukan adzan. Suara adzannya dibuat terdengar merdu oleh Fictive Order seperti suara adzan yang sering muncul di televisi.
Saat ini Rachmat sedang tinggal bersama kedua orang tuanya. Di dalam rumahnya, tidak boleh ada suara musik. Jika ingin mendengar musik, dia harus memakai headset. Atau hal yang akan dilakukan untuk menikmati musik secara leluasa adalah dengan masuk ke dalam mobil di garasinya, lalu menghabiskan satu album di situ. Di rumahnya tidak boleh memiliki pajangan foto atau objek visual seperti kalender yang menampilkan makhluk hidup. Jika ada, bagian itu harus digunting atau dihilangkan, barulah kalendernya boleh dipajang. Termasuk buku-buku bergambar yang ada di rak, tampilannya harus dibalik.
Di lain sisi, dia telah memilih meniti karier sebagai seorang sutradara dan seniman performans. Kerja-kerja yang dilakoninya tentu saja kerap berjahitan dengan visual tentang makhluk hidup. Sehingga menurutnya, apa yang terjadi di dalam rumahnya seakan seperti kutukan. Lantas, dia selalu mempunyai ambisi, mungkin di suatu saat nanti, dia akan mengadakan semacam pameran foto di dalam rumahnya, walau hanya semenit.
Kembali ke posisi bersimpuh.
Sembari mengutak-atik proyektor yang sedang menampilkan potongan foto-foto tentang rumahnya, Rachmat kembali melanjutkan ceritanya.
Rachmat adalah lulusan Universiti Kebangsaan Malaysia pada tahun 2014, yang kemudian melanjutkan gelar masternya di Program Penciptaan Film Pascasarjana Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta.
Ketika sedang melanjutkan studinya di ISI Surakarta, dia kerap didorong untuk sering-sering pulang ke kampung halamannya atau kembali ke akar. Di mana capaian-capaian artistik atau nilai-nilai estetika, sebenarnya tidak berada jauh dari tempat di mana dia berasal. Lantas, sebagai seorang yang lahir di dalam keluarga berdarah Bugis, ketika memutuskan kembali ke kampung halamannya, Rachmat kemudian menganggap bahwa capaian dan nilai yang dimaksud di atas mungkin bisa dia temukan di dalam manuskrip I La Galigo. Lantas, tesis karya seni yang dia kerjakan adalah sebuah film eksperimental yang diangkat dari salah satu episode di naskah Bugis I La Galigo yang berjudul ‘Waliala’ atau Alam Arwah. Kendati Wailala inilah yang menjadi pintu masuk petualangan artistik Rachmat untuk bertemu dengan kisah-kisah milik sang nenek di mana itu juga sekaligus menjadi muassal karya-karyanya tentang sejarah DI/TII di Bone.
Di hadapan pengunjung yang ada di dalam galeri, Rachmat kemudian membacakan beberapa penggalan naskah dari karyanya ‘Sketsa-Sketsa Di Kebun Warisan’ yang berbicara tentang bagaimana konflik tanah warisan dan sejarah kelam DI/TII di Bone, Sulawesi Selatan.
Narasi Hantu 1:
Dingin sekali sampai saya rasa itu angin meraba tulang pinggulku.
Saya lihatpohon mulai merendah. Di kejauhan sana, hanya ada gunung ditutupi kabut.
Udara berwarna biru. Bukan gelap seperti arang di dapur.
Di hutan ini tak adaperangkat masak. Saya tinggalkan semuanya untuk menyelamatkan nyawa.
Saya hanya bisa lari ketika gerombolan itu datang.
Mengatakan gerombolansaja, saya masih gemetar ini.
Tubuh saya seperti dimasuki kecoa dari ketiak,selangkangan, kuku dan jari-jari, pantat, telinga.
Saya dengar kami akandipaksa mengaji dan salat. Tapi saya masih menghafal surah Al Fil. Surah AlKautsar. Dan, syahadat.
Hampir dua minggu saya dengan enam orang lain memutuskan pulang kekebun, sembunyi di sana beberapa waktu siapa tahu gerombolan itu sudahpergi dan kembali ke hutan.
Daeng Amma, orang tua yang saya temui di hutanitu bilang kalau ia melihat gerombolan itu sudah berarak pergi, dua orangmembawa barang yang terbungkus sarung.Satu lagi menggandeng senjata.
Ketika kami mencoba keluar dari semak, seorang gerilyawan mengejar kami.
Narasi Hantu 5:
Saya juga tidak yakin berapa bulan sudah berada di hutan. Mungkin duabulan. Saya bertemu dengan beberapa orang dan menjadi akrab di sana.
Adaseorang lelaki yang kami jadikan pemimpin, namanya Ambo Tang. Dia daridesa Lili Riattang, orang-orang mendengarkan dan ikut apa maunya.
Dimalam-malam hari, ia kerap bercerita bagaimana desa-desa di Bone bisaterbentuk. Saya bertanya padanya, kapan situasi ini bisa membaik. Dia malahmengatakan hal lain.Engka pitu pappasengna tau ogi e / ada tujuh nasehat orang Bugis ;
1. Lettu ni uluwa’ lotongna bulu lompo battang ko watattana e (sudahsampairambut hitamnya Gunung Lompo Battang ke jalanan);
3. Luttuni pappasang e (Pesan-pesan beterbangan // manusia mengirimsurat dengan menerbangkan suratnya)
Sebelum menyelesaikan empat pesan lagi, seorang lain tiba ngos-ngosanmengabarkan kalau ia melihat gorilla tidak jauh dari tempat kami tinggal.Meninggalkan tempat kami sekarang adalah satu-satunya hal yang bisa kamilakukan.
Tiga hari kemudian, Ambo Tang meninggal, mungkin karenakelelahan. Tiga hari juga saya tidak berhenti menangis.
Naskah di atas seolah sedang mengajak kita untuk berhadapan langsung dengan sebuah gambaran peristiwa masa lalu, di mana ada banyak tersedia perasaan getir dan rasa takut untuk dimiliki oleh setiap orang. Suatu kehidupan yang diikelilingi oleh banyak senjata dan bentuk-bentuk pengawasan yang kadang kala berakhir malang.
Narasi Hantu itu bagaikan sekantong cerita yang dibawa datang Rachmat langsung dari tubuh-tubuh orang yang mati di hutan, di sawah, di kebun, di mana ada banyak kegetiran yang ditanam bersama mereka. Lantas ketika sudah mati pun, perasaan takut ketika dikelilingi banyak senjata masih terasa.
Dia seolah menyeret peristiwa-peristiwa itu ke dalam deretan bait yang kemudian memancing kita untuk bermain-main dengan perasaan dan imajinasi, di mana pertanyaan-pertanyaan sedang bersembunyi di antara gerombolan, nilai-nilai yang dipertahankan, dan adegan pembunuhan.
Kisah milik Puang Nika, secara tidak sengaja telah mengungkapkan secara gamblang betapa mengerikannya suatu rantai masa di mana perebutan bendera sebuah nilai harus berada di bawah bayang-bayang penaklukan pasukan bersenjata yang memaksa warga biasa untuk mengikuti apa yang tidak dikehendaki dan meninggalkan apa yang mereka yakini. Hal itu yang dirasakan oleh Puang Nika dan warga desa yang lain, tentang bagaimana upaya yang dilakukan gerilyawan DI/TII untuk menghilangkan bentuk keyakinan dan praktik-praktik tradisional, di mana tradisi masyarakat Bugis yang dianggap mistik dan menyimpang, dihabisi dengan cara-cara yang brutal.
Usianya telah melebihi seratus tahun, namun ingatan Puang Nika masih terlampau kuat. Ia masih bisa mengingat dengan jelas bagaimana perawakan dan gelagat dari para gorilla – sebutan untuk gerilyawan DI/TII yang berarti guerilla – pada masa itu. Selain pasukan DI/TII, ada juga beberapa pasukan bersenjata yang tersebar di kampungnya. Di waktu yang sama, terdapat tentara nasional yang datang dari pulau Jawa, pasukan Jepang atau Nippon dan Somba Balo. Tetapi yang paling menyeramkan dan paling jahat menurut Puang Nika adalah gorilla. Mereka berpakaian serba hitam, mengenakan topi dan menenteng senjata. Ada di mana-mana, di kebun, di sawah, di lapangan, mereka tersebar di semua tempat.
Jika ada perempuan yang mereka dapati tidak mengenakan hijab, perempuan itu akan langsung ditembak. Orang yang didapati sedang berpacaran juga langsung ditembak.
Di suatu hari, Puang Nika pernah didapati memakai kalung dan anting di badannya, semua perhiasan lantas dirampas begitu saja. Kakak pertamanya mati ditembak karena melawan. Tetangganya juga ada yang mati ditembak karena tidak memakai hijab. Beliau pernah dikejar dan lari masuk bersembunyi ke dalam rakeang – sebuah langit-langit pada rumah panggung suku Bugis yang menjadi tempat penyimpanan hasil panen atau loteng.
Kadang jika pergi bertani, beliau sering menemukan ada mayat di kebunnya yang mati karena ditembak. Atau ketika pergi ke sungai, beliau juga sering menemukan tubuh yang sudah terkapar mati ditembak. Mayat-mayat yang ditemukan itu biasanya dikumpul lalu di kubur di desa bernama Bulu’ Bue, Parigi.
Adegan Memotong Daging
Rachmat kembali bersimpuh. Usai menceritakan kisah tentang sang nenek, dia kemudian membagikan beberapa batang pisang yang telah dipenggal-penggal ke atas alas terpal diikuti pisau dan beberapa potongan daging. Menyusul teh panas dan piring berisi pisang goreng yang disediakan di atas loyang.
Rachmat adalah seniman performans yang kerap menggunakan pendekatan interaktif saat melakukan pertunjukannya. Bagi beberapa orang, hal itu telah diduga dan diketahui. Pengunjung yang duduk di depannya pun dengan spontan mulai meraih pisau dan batang pisang itu, kemudian ikut mengiris bersamanya. Adegan mengiris daging yang mereka lakukan persis seperti apa yang dilakukan ibu-ibu di Bone.
Sebagaimana Rachmat di setiap performansnya, kehadiran karya-karyanya selalu berpijak pada panggung yang penuh dengan tafsir, yang dengan sengaja dia bangun di mana pengkhidmat seolah-olah didorong untuk meraba-raba setiap kemungkinan dan macam-macam persoalan yang ada di dalamnya. Sehingga melalui cara itu, bisa dilihat bagaimana Rachmat sedang berupaya membuka kemungkinan akan pemicu lahirnya sebuah perspektif baru.
Tak lama kemudian, terdengar sesuatu dari mulut speaker semacam suara potongan kalimat ketika Rachmat sedang berbicara tadi. Suara itu muncul begitu saja seperti kalimat-kalimat acak yang tidak terprediksi. Suara-suara itu sedang direkayasa oleh Fictive Order melalui seperangkat alat DJnya. Suara ketika Rachmat sedang membacakan Narasi Hantunya tadi terdengar seperti bersahutan di antara suara orang-orang yang sedang mengaji atau barzanji, mengiringi mereka yang sedang mengiris-iris daging di dalam galeri Rumata’ ArtSpace.
Sebuah persepsi ruang liminal kali ini terasa hadir dalam bentuk tabrakan nilai (dibaca agama dan tradisi) yang cukup elusif. Rachmat seolah-olah sedang mengundang masa di mana nilai-nilai itu pernah bertentangan, kemudian direkonstruksi ulang ke dalam ritual-ritual dan bermain di antara batas-batas nilai itu. Mengutak-atik persepsi tentang agama dan tradisi leluhur yang hari ini telah melebur dan berdampingan, dari sisa-sisa goresan demarkasi yang ditinggalkan keduanya di dalam diri seorang nenek, yang hari ini sedang berdiri sebagai monumen, di atas pecahan tanah penuh luka di mana tragedi tertanam dan dilupakan.
Tak lama berselang, dia menancapkan pisau ke batang pisang dan mengambil mic. Perlahan berdiri dan berbalik arah kemudian melakukan iqamah. Di antara lantunan iqamahnya, muncul bunyi semacam efek scratch yang coba mendistraksi nada iqamahnya. Setelah iqamah selesai, terdengar kembali suara orang sedang mengaji. Tapi kali ini terdengar seperti lebih kelam. Rachmat lalu mengambil selembar kertas yang ada di sampingnya. Sementara masih terdengar suara orang yang sedang mengaji, dia membacakan semacam hikayat tentang sang nenek:
Puang Nika minum susu beruang sekarang karena HB-nya kurang.
Setengahdiminum pagi, setengahnya malam.
Pagi sekali, Nenek mencret dan membuat tangga penuh eek.
Sebab ia takmau dimarahi oleh anaknya, sarung dan baju yang ia kenakan, ia buangbegitu saja.
Sekarang tingkahnya seperti anak kecil.
Nenek menyapu pakai sapu lidi di bawah rumah, untuk mengusir ayam.
Dia telah selesai membacakan naskah terakhirnya. Tetapi suara orang mengaji masih terdengar. Lantas suara mengaji itu perlahan bertransisi menjadi ketukan yang terdengar seperti irama dangdut, yang kemudian pelan-pelan menjadi lagu koplo dengan liriknya yang berbunyi gerri gerri gerri… ci’da…
Pertunjukan selesai. Kisah tentang sang nenek telah dikemas dan diceritakan oleh Rachmat dengan gamblang. Dia lalu mengajak pengunjung membagikan pandangan mereka terkait apa yang telah mereka simak dan alami.
Rekaman siaran presentasi publik Gorilla: Pecahan Tanah Penuh Luka juga bisa ditonton di kanal youtube Rumata’ ArtSpace.
https://rumata.or.id/wp-content/uploads/2024/02/Penelitian-Puang-Nika-Day-2-9-edited.jpg8431500rumatahttps://rumata.or.id/wp-content/uploads/2018/10/logo.pngrumata2024-02-13 04:25:032024-03-06 19:33:03Gorilla: Pecahan Tanah Penuh Luka
Asosiasi Pemuda Australia-Indonesia (AIYA) Cabang Sulawesi Selatan bersama Konsulat Jenderal Australia di Makassar dan Rumata’ Artspace telah mengadakan acara pertukaran budaya melalui AIYA CulturalVerse pada hari Minggu 14 Januari 2024 di Rumata’ Artspace, Makassar. Acara ini dirancang untuk membina hubungan budaya antara pemuda Australia dan Indonesia melalui promosi seni dan budaya, khususnya dari daerah Sulawesi Selatan
Program ini merupakan bagian dari program kolaborasi yang lebih luas antara AIYA, University of Tasmania dan Australian Volunteer International untuk mendukung Program Global Opportunity (UniGo). Kolaborasi ini difokuskan pada pertukaran dan keterlibatan yang bermakna antara komunitas pemuda kami dan komunitas akademis internasional untuk menumbuhkan pemahaman budaya, berbagi pengetahuan, dan menciptakan pengalaman berharga bagi anggota AIYA Sulawesi Selatan dan mahasiswa Universitas Tasmania.
Acara ini sangat didukung oleh Konsulat Jenderal Australia di Makassar yang menyadari pentingnya acara ini dan potensinya untuk menciptakan dampak positif bagi pemuda IndonesiaAustralia dan membina hubungan yang bermakna. Rumata’ Artspace juga mendukung kami untuk merangkul keberagaman dan apresiasi terhadap budaya melalui semangat anak muda yang dapat memberikan dampak signifikan bagi masyarakat.
Beberapa kegiatan utama dalam acara tersebut, diantaranya menampilkan kesenian tradisional Sulawesi Selatan pada sesi penyambutan diantaranya Tari Paduppa dan Upacara Anggaru,juga tersedia jajanan tradisional Sulawesi Selatan yang memiliki beragam pilihan seperti Coto Makassar, Es Pisang Ijo, Jalangkote. Selain itu, ada juga buah-buahan musiman yang dapat dinikmati pada waktu-waktu tertentu dalam setahun. Di akhir acara, para peserta mengikuti sesi permainan tradisional yang meliputi Permainan Tradisional Rangku Alu dan Dero dan dilanjutkan dengan sesi foto.
Acara tersebut memicu diskusi yang hidup dan menggugah pikiran di antara para peserta mengenai berbagai perbedaan budaya dan tradisi antara Anggota AIYA dari Indonesia dan Australia. Pertukaran ide dan perspektif ini memungkinkan nsetiap orang untuk mendapatkan pemahaman dan apresiasi yang lebih dalam terhadap kekayaan keberagaman yang ada di masyarakat.
AIYA Sulawesi Selatan sebagai tuan rumah acara ini mempunyai kesempatan luar biasa untuk menampilkan dan mempromosikan budaya Bugis-Makassar yang kaya dan dinamis kepada khalayak yang lebih luas. Pertukaran budaya ini memungkinkan adanya pemahaman dan apresiasilebih dalam terhadap tradisi, adat istiadat, dan warisan masyarakat Bugis-Makassar. Acara ini menyediakan wadah untuk menampilkan tarian tradisional Bugis-Makassar, musik, seni dan masakan, dan pakaian tradisional. Melalui acara seperti ini, AIYA Sulawesi Selatan diharapkan memainkan peran penting dalam melestarikan dan mempromosikan budaya Bugis-Makassar.
https://rumata.or.id/wp-content/uploads/2024/02/AIYA-Sulsel-bersama-volunteer-scaled.jpg17072560rumatahttps://rumata.or.id/wp-content/uploads/2018/10/logo.pngrumata2024-02-13 04:23:592024-02-18 17:30:33AIYA Sulsel memperkenalkan budaya Bugis-Makassar melalui AIYA CulturalVerse
Selama tinggal di Makassar, Indonesia, Ilona McGuire akan mengeksplorasi identitas dan koneksi di seluruh lautan yang mendahului kolonisasi Australia. Dia akan mengeksplorasi hubungan antara budaya Makassan dan Aborigin yang terjalin dalam jaringan perdagangan kuno, melacak jalur yang diletakkan oleh nenek moyang yang tak terhitung jumlahnya yang pernah berteman. Proyek Ilona akan mengeksplorasi bagaimana kita dapat bekerja sama untuk memperbaiki koneksi ini, melanjutkan jaringan perdagangan dan menciptakan sesuatu dari mana Orang-orang Pertama dari tanah dan perairan ini dapat menarik kekuatan.
Bersama dengan Andi Nur Azimah, Ilona mendirikan BREEZE, sebuah kemitraan baru antara PICA, Rumata’ Artspace dan Universitas Negeri Makassar yang menyediakan platform untuk mengumpulkan pengetahuan, mengeksplorasi koneksi budaya dan kesempatan untuk mengembangkan hubungan antar budaya antara Australia Barat dan Makassar, dua daerah yang terhubung oleh ikatan sejarah dan budaya antara Negara-negara Pertama Australia dan orang-orang Makassan yang koneksi mereka mendahului kolonisasi.
Ilona McGuire, PICA Studio Residency 2022. Photo: Daniel James Grant.
Di jantung penjelajahan McGuire adalah keinginan untuk memahami bagaimana koneksi kuno ini dapat diperbaiki dan diperbaharui. Proyek ini mengantisipasi upaya kolaboratif untuk tidak hanya mengakui ikatan bersejarah tetapi juga secara aktif bekerja menuju kelanjutan jaringan perdagangan ini. Dengan melakukannya, McGuire berharap untuk menciptakan platform yang mempromosikan pemahaman dan rasa hormat bersama, memungkinkan orang-orang pertama di tanah dan perairan ini untuk menarik kekuatan dari warisan bersama mereka.
Kemitraan BREEZE: Platform untuk pertukaran budaya: Meluncurkan kemitraan BREEZE, Ilona McGuire dan Andi Nur Azimah bertujuan untuk menciptakan platform yang berarti untuk pertukaran pengetahuan dan eksplorasi budaya. BREEZE menyatukan PICA, Rumata’ Artspace, dan Universitas Negeri Makassar, mendirikan yayasan untuk mempromosikan hubungan antar budaya antara Australia Barat dan Makassar. Kemitraan ini mengakui ikatan sejarah dan budaya yang mendalam yang menghubungkan Negara-negara Pertama Australia dan orang-orang Makassan, sebelum era kolonisasi.
BREEZE tidak hanya berfungsi sebagai platform untuk memahami koneksi sejarah tetapi juga sebagai katalis untuk pengembangan hubungan antar budaya antara Australia Barat dan Makassar. Kemitraan ini memberikan kesempatan bagi seniman, sarjana, dan komunitas dari kedua wilayah untuk terlibat dalam dialog yang bermakna. Dengan memfasilitasi proyek dan inisiatif kolaboratif, BREEZE bertujuan untuk memperkuat ikatan antara dua bidang ini, mempromosikan penghargaan bersama untuk warisan budaya yang beragam.
Residensi Ilona McGuire di Makassar, Indonesia, sebagai bagian dari kemitraan BREEZE, adalah bukti kekuatan seni dalam menghidupkan kembali dan merayakan koneksi budaya. Melalui eksplorasi jaringan perdagangan kuno dan kolaborasi dengan Andi Nur Azimah, McGuire berusaha membangun jembatan antara Australia Barat dan Makassar, mengakui dan menghormati sejarah kaya yang mendahului kolonisasi. BREEZE berdiri sebagai beacon untuk hubungan antar budaya, menyediakan ruang di mana masa lalu menyatu dengan masa kini, menawarkan masa depan yang menjanjikan dari pemahaman bersama dan kolaborasi.
___
During her residency in Makassar, Indonesia, Ilona McGuire will explore identities and connections across the seas that pre-date the colonisation of Australia. She will explore the relationships between Makassan and Aboriginal cultures that are woven into ancient trading networks, tracing pathways laid by countless Ancestors who were once friends. Ilona’s project will explore how we can work together to repair these connections, continue trading networks and create something from which First Peoples of these lands and waters can draw strength from.
Along with Andi Nur Azimah, Ilona inaugurates BREEZE, a new partnership between PICA, Rumata’ Artspace and Universitas Negeri Makassar that provides a platform for knowledge gathering, the exploration of cultural connections and opportunities to develop intercultural relations between Western Australia and Makassar, two areas linked by the historical and cultural ties between Australian First Nations and Makassan people whose connection pre-dates colonisation.
At the core of McGuire’s exploration is the desire to understand how these ancient connections can be repaired and revitalized. The project envisions a collaborative effort to not only acknowledge the historical ties but also to actively work towards the continuation of these trading networks. By doing so, McGuire hopes to create a platform that fosters mutual understanding and respect, allowing the First Peoples of these lands and waters to draw strength from their shared heritage.
BREEZE Partnership: A Platform for Cultural Exchange: Inaugurating the BREEZE partnership, Ilona McGuire and Andi Nur Azimah aim to create a meaningful platform for knowledge exchange and cultural exploration. BREEZE brings together PICA, Rumata’ Artspace, and Universitas Negeri Makassar, establishing a foundation for fostering intercultural relations between Western Australia and Makassar. The partnership recognizes the deep historical and cultural ties that bind Australian First Nations and Makassan people, predating the era of colonization.
BREEZE not only serves as a platform for understanding the historical connections but also as a catalyst for the development of intercultural relations between Western Australia and Makassar. The partnership provides opportunities for artists, scholars, and communities from both regions to engage in a meaningful dialogue. By facilitating collaborative projects and initiatives, BREEZE aims to strengthen the bonds between these two areas, fostering a shared appreciation for their diverse cultural heritage.
Ilona McGuire’s residency in Makassar, Indonesia, as part of the BREEZE partnership, is a testament to the power of art in reviving and celebrating cultural connections. Through her exploration of ancient trading networks and collaboration with Andi Nur Azimah, McGuire strives to build bridges between Western Australia and Makassar, acknowledging and honoring the rich history that predates colonization. BREEZE stands as a beacon for intercultural relations, providing a space where the past converges with the present, offering a promising future of shared understanding and collaboration.
https://rumata.or.id/wp-content/uploads/2024/01/AN_1918.jpeg12691903rumatahttps://rumata.or.id/wp-content/uploads/2018/10/logo.pngrumata2024-01-23 13:24:362024-01-23 13:24:37BREEZE: Reviving Cultural Connections Across Seas – Ilona McGuire’s Exploration in Makassar, Indonesia”