Gorilla: Pecahan Tanah Penuh Luka

Oleh: Khomeiny Imam

Semua foto oleh Aziziah Diah Aprilya

Jika melihat masa lalu, jelas sejarah dunia penuh kekerasan. Jejak-jejaknya yang hadir di sekitar kita juga tidak luput dibangun di atas genangan darah dan tumpukan mayat. Beberapa di antaranya timbul menjadi narasi mayor, beberapa harus tetap tertimbun dalam-dalam, implisit dan mesti digali.

Sejarah kelam gerilya DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) di Sulawesi Selatan misalnya, yang menjadi salah satu sejarah pemberontakan terlama di Indonesia ternyata masih banyak menimbun deretan lubang eviden di antara rentetan catatannya yang kelam. Konon, beberapa daerah di Sulawesi Selatan yang pernah dijadikan kanton DI/TII, sebagian warganya masih menganggap bahwa Kahar Muzakkar sebagai sosok yang memimpin pemberontakan itu yang telah ditetapkan mati ditembak oleh militer Indonesia pada 3 Februari 1965 di Kecamatan Lasolo, Konawe Utara, masih dianggap hidup sampai saat ini. Wallahu alam bishawab.

Kian masa, wacana sejarah kerap menjadi kebutuhan utama dalam banyak praktik kesenian. Sebagai seorang seniman performans, kira-kira itu yang dilakukan oleh Rachmat Mustamin, menggali pecahan sejarah penuh luka atas tragedi Islamisasi DI/TII di kampungnya Bone, melalui sang nenek.

Di Desa Solo’, Kecamatan Lappariaja Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan, adalah kampung di mana nenek Rachmat tinggal. Nama neneknya adalah Andi Manika. Dalam panggilan Bugis biasa disapa Puang Nika. Di desa itu, Puang Nika menyimpan rentetan memori kelam tentang agresi dan pemberontakan DI/TII, kendati beliau adalah salah satu perempuan yang tumbuh sebagai penyintas di masa itu, pada tahun 1950-1965.

Puang Nika adalah sosok yang gemar bercerita. Hal itu rupanya yang menemani masa kecil Rachmat tumbuh, dikelilingi oleh segudang kisah milik neneknya. Sehingga kisah tentang represi DI/TII rupanya masih cukup akrab di telinga Rachmat ketika dirinya telah beranjak dewasa. Pun hingga saat ini, setiap kali ditemui, Puang Nika masih saja mempunyai banyak penggalan kisah yang ia simpan untuk diceritakan lagi kepada Rachmat. Kisah-kisah seperti mayat yang ditemukan di sekitar kebun, di tepi sungai, orang-orang yang mati ditembak, atau rumah-rumah yang dibakar. Atau kisah tentang dirinya yang pernah melarikan diri dan kabur ke hutan selama beberapa pekan, akibat seluruh warga pada masa itu dipaksa untuk memeluk agama Islam, dan beliau tidak mau.

Puang Nika selalu menceritakan kisahnya menggunakan bahasa Bugis sebagai bahasa sehari-harinya. Beliau memilih untuk tidak menggunakan bahasa Indonesia, bahkan tidak ingin mempelajarinya. Alasannya sederhana, kata beliau tidak penting.

Setiap kali Puang Nika bercerita tentang kisahnya, gesturnya begitu bersemangat. Peristiwa-peristiwa kelam yang ia gambarkan dari masa lalu terasa masih sangat begitu jelas di ingatannya. Tidak heran, sewaktu muda sang nenek adalah penghafal Al-Quran atau hafidzah. Ketika tulisan ini dibuat, usianya sudah melampaui seratus tahun.

Rachmat kemudian berkesempatan untuk mencatat dan merekam kisah-kisah neneknya melalui program Ephemera #3 “Museum Of Untranslatable Stories” yang dicanangkan IVAA (Indonesian Visual Art Archive). Di mana memori sang nenek tentang tragedi di masa-masa itu – pemberontakan DI/TII – didefinisikan ulang sebagai arsip. Dikemas dan ditampilkan melalui presentasi publik dan performance lecturer di Rumata’ ArtSpace, yang berlangsung secara hybrid pada tanggal 29 Juli 2023 dengan judul “Gorilla: Pecahan Tanah Penuh Luka”. Kali ini kolaborator yang dilibatkan Rachmat adalah fotografer Aziziah Diah Aprilya dan Adin Amiruddin – seorang DJ dengan nama samaran Fictive Order.

Biasanya, menjelang satu hari sebelum acara pernikahan suku Bugis di Sulawesi Selatan, khususnya di Bone, para perempuan yang mayoritas adalah ibu-ibu dari kampung setempat akan berkumpul di rumah pengantin laki-laki untuk bergotong royong mengiris daging sapi. Mereka datang dengan membawa pisau masing-masing, lalu duduk mengitari terpal tenda yang telah dibentangkan sebagai alas. Sebelum agenda mengiris dimulai, sambil menunggu potongan-potongan daging datang, para kerabat terlebih dahulu akan membagikan batang pisang yang telah dipenggal-penggal sebagai pengganti talenan. Di sisi lain, kerabat laki-laki dan perempuan sedang memisahkan potongan organ sapi yang akan segera dibagi untuk diiris lagi menjadi lebih kecil. Daging sapi yang telah diiris itu nantinya akan disiapkan menjadi varian menu santap di hari puncak pernikahan.

Di galeri Rumata’, di hadapan para pengunjung, Rachmat sudah mengambil posisi duduk dan sedang memulai ceritanya tentang masa kecil.

Sewaktu kecil, dia tumbuh di dalam keluarga yang cukup kental dengan tuntutan dan cara hidup Islam. Rachmat adalah anak ke-tiga dari enam bersaudara yang semuanya dimasukan ke dalam pesantren. Hanya saudara pertamanya yang tidak. Kedua orang tuanya adalah Muslim yang taat. Bapaknya adalah pensiunan pegawai negeri di pengadilan dan seorang khatib. Semasanya kecil,  Rachmat adalah anak yang paling suka diajak dari semua saudaranya untuk menemani bapaknya memberikan ceramah di mesjid-mesjid saat hari Jum’at. Di saat masih pesantren, katanya dia adalah anak yang paling sering mewakili pesantrennya untuk mengikuti fashion show busana muslim. Dia juga pernah dipaksa oleh bapaknya untuk mengikuti lomba adzan di mana bapaknya sendiri adalah jurinya.

Ketika sedang bercerita tentang lomba adzan di masa kecilnya, Rachmat tiba-tiba berdiri dan membalikan badannya membelakangi pengunjung. Kemudian menghadap ke arah kiblat dan tiba-tiba saja melakukan adzan. Suara adzannya dibuat terdengar merdu oleh Fictive Order seperti suara adzan yang sering muncul di televisi.

Saat ini Rachmat sedang tinggal bersama kedua orang tuanya. Di dalam rumahnya, tidak boleh ada suara musik. Jika ingin mendengar musik, dia harus memakai headset. Atau hal yang akan dilakukan untuk menikmati musik secara leluasa adalah dengan masuk ke dalam mobil di garasinya, lalu menghabiskan satu album di situ. Di rumahnya tidak boleh memiliki pajangan foto atau objek visual seperti kalender yang menampilkan makhluk hidup. Jika ada, bagian itu harus digunting atau dihilangkan, barulah kalendernya boleh dipajang. Termasuk buku-buku bergambar yang ada di rak, tampilannya harus dibalik.

Di lain sisi, dia telah memilih meniti karier sebagai seorang sutradara dan seniman performans. Kerja-kerja yang dilakoninya tentu saja kerap berjahitan dengan visual tentang makhluk hidup. Sehingga menurutnya, apa yang terjadi di dalam rumahnya seakan seperti kutukan. Lantas, dia selalu mempunyai ambisi, mungkin di suatu saat nanti, dia akan mengadakan semacam pameran foto di dalam rumahnya, walau hanya semenit.

Kembali ke posisi bersimpuh.

Sembari mengutak-atik proyektor yang sedang menampilkan potongan foto-foto tentang rumahnya, Rachmat kembali melanjutkan ceritanya.

Rachmat adalah lulusan Universiti Kebangsaan Malaysia pada tahun 2014, yang kemudian melanjutkan gelar masternya di Program Penciptaan Film Pascasarjana Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta.

Ketika sedang melanjutkan studinya di ISI Surakarta, dia kerap didorong untuk sering-sering pulang ke kampung halamannya atau kembali ke akar. Di mana capaian-capaian artistik atau nilai-nilai estetika, sebenarnya tidak berada jauh dari tempat di mana dia berasal. Lantas, sebagai seorang yang lahir di dalam keluarga berdarah Bugis, ketika memutuskan kembali ke kampung halamannya, Rachmat kemudian menganggap bahwa capaian dan nilai yang dimaksud di atas mungkin bisa dia temukan di dalam manuskrip I La Galigo. Lantas, tesis karya seni yang dia kerjakan adalah sebuah film eksperimental yang diangkat dari salah satu episode di naskah Bugis I La Galigo yang berjudul ‘Waliala’ atau Alam Arwah. Kendati Wailala inilah yang menjadi pintu masuk petualangan artistik Rachmat untuk bertemu dengan kisah-kisah milik sang nenek di mana itu juga sekaligus menjadi muassal karya-karyanya tentang sejarah DI/TII di Bone.

Di hadapan pengunjung yang ada di dalam galeri, Rachmat kemudian membacakan beberapa penggalan naskah dari karyanya ‘Sketsa-Sketsa Di Kebun Warisan’ yang berbicara tentang bagaimana konflik tanah warisan dan sejarah kelam DI/TII di Bone, Sulawesi Selatan.

Narasi Hantu 1:

Dingin sekali sampai saya rasa itu angin meraba tulang pinggulku.

Saya lihat pohon mulai merendah. Di kejauhan sana, hanya ada gunung ditutupi kabut.

Udara berwarna biru. Bukan gelap seperti arang di dapur.

Di hutan ini tak ada perangkat masak. Saya tinggalkan semuanya untuk menyelamatkan nyawa.

Saya hanya bisa lari ketika gerombolan itu datang.

Mengatakan gerombolan saja, saya masih gemetar ini.

Tubuh saya seperti dimasuki kecoa dari ketiak, selangkangan, kuku dan jari-jari, pantat, telinga.

Saya dengar kami akan dipaksa mengaji dan salat. Tapi saya masih menghafal surah Al Fil. Surah Al Kautsar. Dan, syahadat.

Hampir dua minggu saya dengan enam orang lain memutuskan pulang ke kebun, sembunyi di sana beberapa waktu siapa tahu gerombolan itu sudah pergi dan kembali ke hutan.

Daeng Amma, orang tua yang saya temui di hutan itu bilang kalau ia melihat gerombolan itu sudah berarak pergi, dua orang membawa barang yang terbungkus sarung. Satu lagi menggandeng senjata.

Ketika kami mencoba keluar dari semak, seorang gerilyawan mengejar kami.

Narasi Hantu 5:

Saya juga tidak yakin berapa bulan sudah berada di hutan. Mungkin dua bulan. Saya bertemu dengan beberapa orang dan menjadi akrab di sana.

Ada seorang lelaki yang kami jadikan pemimpin, namanya Ambo Tang. Dia dari desa Lili Riattang, orang-orang mendengarkan dan ikut apa maunya.

Di malam-malam hari, ia kerap bercerita bagaimana desa-desa di Bone bisa terbentuk. Saya bertanya padanya, kapan situasi ini bisa membaik. Dia malah mengatakan hal lain. Engka pitu pappasengna tau ogi e / ada tujuh nasehat orang Bugis ;

1. Lettu ni uluwa’ lotongna bulu lompo battang ko watattana e (sudah sampai rambut hitamnya Gunung Lompo Battang ke jalanan);

2. Urane mancaji makkunrai, makkunrai mancaji urane (Lelaki jadi perempuan, perempuan jadi lelaki)

3. Luttuni pappasang e (Pesan-pesan beterbangan // manusia mengirim surat dengan menerbangkan suratnya)

Sebelum menyelesaikan empat pesan lagi, seorang lain tiba ngos-ngosan mengabarkan kalau ia melihat gorilla tidak jauh dari tempat kami tinggal. Meninggalkan tempat kami sekarang adalah satu-satunya hal yang bisa kami lakukan.

Tiga hari kemudian, Ambo Tang meninggal, mungkin karena kelelahan. Tiga hari juga saya tidak berhenti menangis.

Naskah di atas seolah sedang mengajak kita untuk berhadapan langsung dengan sebuah gambaran peristiwa masa lalu, di mana ada banyak tersedia perasaan getir dan rasa takut untuk dimiliki oleh setiap orang. Suatu kehidupan yang diikelilingi oleh banyak senjata dan bentuk-bentuk pengawasan yang kadang kala berakhir malang.

Narasi Hantu itu bagaikan sekantong cerita yang dibawa datang Rachmat langsung dari tubuh-tubuh orang yang mati di hutan, di sawah, di kebun, di mana ada banyak kegetiran yang ditanam bersama mereka. Lantas ketika sudah mati pun, perasaan takut ketika dikelilingi banyak senjata masih terasa.

Dia seolah menyeret peristiwa-peristiwa itu ke dalam deretan bait yang kemudian memancing kita untuk bermain-main dengan perasaan dan imajinasi, di mana pertanyaan-pertanyaan sedang bersembunyi di antara gerombolan, nilai-nilai yang dipertahankan, dan adegan pembunuhan.

Kisah milik Puang Nika, secara tidak sengaja telah mengungkapkan secara gamblang betapa mengerikannya suatu rantai masa di mana perebutan bendera sebuah nilai harus berada di bawah bayang-bayang penaklukan pasukan bersenjata yang memaksa warga biasa untuk mengikuti apa yang tidak dikehendaki dan meninggalkan apa yang mereka yakini. Hal itu yang dirasakan oleh Puang Nika dan warga desa yang lain, tentang bagaimana upaya yang dilakukan gerilyawan DI/TII untuk menghilangkan bentuk keyakinan dan praktik-praktik tradisional, di mana tradisi masyarakat Bugis yang dianggap mistik dan menyimpang, dihabisi dengan cara-cara yang brutal.

Usianya telah melebihi seratus tahun, namun ingatan Puang Nika masih terlampau kuat. Ia masih bisa mengingat dengan jelas bagaimana perawakan dan gelagat dari para gorilla – sebutan untuk gerilyawan DI/TII yang berarti guerilla – pada masa itu. Selain pasukan DI/TII, ada juga beberapa pasukan bersenjata yang tersebar di kampungnya. Di waktu yang sama, terdapat tentara nasional yang datang dari pulau Jawa, pasukan Jepang atau Nippon dan Somba Balo. Tetapi yang paling menyeramkan dan paling jahat menurut Puang Nika adalah gorilla. Mereka berpakaian serba hitam, mengenakan topi dan menenteng senjata. Ada di mana-mana, di kebun, di sawah, di lapangan, mereka tersebar di semua tempat.

Jika ada perempuan yang mereka dapati tidak mengenakan hijab, perempuan itu akan langsung ditembak. Orang yang didapati sedang berpacaran juga langsung ditembak.

Di suatu hari, Puang Nika pernah didapati memakai kalung dan anting di badannya, semua perhiasan lantas dirampas begitu saja. Kakak pertamanya mati ditembak karena melawan. Tetangganya juga ada yang mati ditembak karena tidak memakai hijab. Beliau pernah dikejar dan lari masuk bersembunyi ke dalam rakeang –  sebuah langit-langit pada rumah panggung suku Bugis yang menjadi tempat penyimpanan hasil panen atau loteng.

Kadang jika pergi bertani, beliau sering menemukan ada mayat di kebunnya yang mati karena ditembak. Atau ketika pergi ke sungai, beliau juga sering menemukan tubuh yang sudah terkapar mati ditembak. Mayat-mayat yang ditemukan itu biasanya dikumpul lalu di kubur di desa bernama Bulu’ Bue, Parigi.

Adegan Memotong Daging

Rachmat kembali bersimpuh. Usai menceritakan kisah tentang sang nenek, dia kemudian membagikan beberapa batang pisang yang telah dipenggal-penggal  ke atas alas terpal diikuti pisau dan beberapa potongan daging. Menyusul  teh panas dan piring berisi pisang goreng yang disediakan di atas loyang.

Rachmat adalah seniman performans yang kerap menggunakan pendekatan interaktif saat melakukan pertunjukannya. Bagi beberapa orang, hal itu telah diduga dan diketahui. Pengunjung yang duduk di depannya pun dengan spontan mulai meraih pisau dan batang pisang itu, kemudian ikut mengiris bersamanya. Adegan mengiris daging yang mereka lakukan persis seperti apa yang dilakukan ibu-ibu di Bone.

Sebagaimana Rachmat di setiap performansnya, kehadiran karya-karyanya selalu berpijak pada panggung yang penuh dengan tafsir, yang dengan sengaja dia bangun di mana pengkhidmat seolah-olah didorong untuk meraba-raba setiap kemungkinan dan macam-macam persoalan yang ada di dalamnya. Sehingga melalui cara itu, bisa dilihat bagaimana Rachmat sedang berupaya membuka kemungkinan akan pemicu lahirnya sebuah perspektif baru.

Tak lama kemudian, terdengar sesuatu dari mulut speaker semacam suara potongan kalimat ketika Rachmat sedang berbicara tadi. Suara itu muncul begitu saja seperti kalimat-kalimat acak yang tidak terprediksi. Suara-suara itu sedang direkayasa oleh Fictive Order melalui seperangkat alat DJnya. Suara ketika Rachmat sedang membacakan Narasi Hantunya tadi terdengar seperti bersahutan di antara suara orang-orang yang sedang mengaji atau barzanji, mengiringi mereka yang sedang mengiris-iris daging di dalam galeri Rumata’ ArtSpace.

Sebuah persepsi ruang liminal kali ini terasa hadir dalam bentuk tabrakan nilai (dibaca agama dan tradisi) yang cukup elusif. Rachmat seolah-olah sedang mengundang masa di mana nilai-nilai itu pernah bertentangan, kemudian direkonstruksi ulang ke dalam ritual-ritual dan bermain di antara batas-batas nilai itu. Mengutak-atik persepsi tentang agama dan tradisi leluhur yang hari ini telah melebur dan berdampingan, dari sisa-sisa goresan demarkasi yang ditinggalkan keduanya di dalam diri seorang nenek, yang hari ini sedang berdiri sebagai monumen, di atas pecahan tanah penuh luka di mana tragedi tertanam dan dilupakan.

Tak lama berselang, dia menancapkan pisau ke batang pisang dan mengambil mic. Perlahan berdiri dan berbalik arah kemudian melakukan iqamah. Di antara lantunan iqamahnya, muncul bunyi semacam efek scratch yang coba mendistraksi nada iqamahnya. Setelah iqamah selesai, terdengar kembali suara orang sedang mengaji. Tapi kali ini terdengar seperti lebih kelam. Rachmat lalu mengambil selembar kertas yang ada di sampingnya. Sementara masih terdengar suara orang yang sedang mengaji, dia membacakan semacam hikayat tentang sang nenek:

Puang Nika minum susu beruang sekarang karena HB-nya kurang.

Setengah diminum pagi, setengahnya malam.

Pagi sekali, Nenek mencret dan membuat tangga penuh eek.

Sebab ia tak mau dimarahi oleh anaknya, sarung dan baju yang ia kenakan, ia buang begitu saja.

Sekarang tingkahnya seperti anak kecil.

Nenek menyapu pakai sapu lidi di bawah rumah, untuk mengusir ayam.

Dia telah selesai membacakan naskah terakhirnya. Tetapi suara orang mengaji masih terdengar. Lantas suara mengaji itu perlahan bertransisi menjadi ketukan yang terdengar seperti irama dangdut, yang kemudian pelan-pelan menjadi lagu koplo dengan liriknya yang berbunyi gerri gerri gerri… ci’da…

Pertunjukan selesai. Kisah tentang sang nenek telah dikemas dan diceritakan oleh Rachmat dengan gamblang. Dia lalu mengajak pengunjung membagikan pandangan mereka terkait apa yang telah mereka simak dan alami.

Rekaman siaran presentasi publik Gorilla: Pecahan Tanah Penuh Luka juga bisa ditonton di kanal youtube Rumata’ ArtSpace.

AIYA Sulsel memperkenalkan budaya Bugis-Makassar melalui AIYA CulturalVerse

Asosiasi Pemuda Australia-Indonesia (AIYA) Cabang Sulawesi Selatan bersama Konsulat Jenderal Australia di Makassar dan Rumata’ Artspace telah mengadakan acara pertukaran budaya melalui AIYA CulturalVerse pada hari Minggu 14 Januari 2024 di Rumata’ Artspace, Makassar. Acara ini dirancang untuk membina hubungan budaya antara pemuda Australia dan Indonesia melalui promosi seni dan budaya, khususnya dari daerah Sulawesi Selatan

Program ini merupakan bagian dari program kolaborasi yang lebih luas antara AIYA, University of Tasmania dan Australian Volunteer International untuk mendukung Program Global Opportunity (UniGo). Kolaborasi ini difokuskan pada pertukaran dan keterlibatan yang bermakna antara komunitas pemuda kami dan komunitas akademis internasional untuk menumbuhkan pemahaman budaya, berbagi pengetahuan, dan menciptakan pengalaman berharga bagi anggota AIYA Sulawesi Selatan dan mahasiswa Universitas Tasmania.

Acara ini sangat didukung oleh Konsulat Jenderal Australia di Makassar yang menyadari pentingnya acara ini dan potensinya untuk menciptakan dampak positif bagi pemuda IndonesiaAustralia dan membina hubungan yang bermakna. Rumata’ Artspace juga mendukung kami untuk merangkul keberagaman dan apresiasi terhadap budaya melalui semangat anak muda yang dapat memberikan dampak signifikan bagi masyarakat.

Beberapa kegiatan utama dalam acara tersebut, diantaranya menampilkan kesenian tradisional Sulawesi Selatan pada sesi penyambutan diantaranya Tari Paduppa dan Upacara Anggaru,juga tersedia jajanan tradisional Sulawesi Selatan yang memiliki beragam pilihan seperti Coto Makassar, Es Pisang Ijo, Jalangkote. Selain itu, ada juga buah-buahan musiman yang dapat dinikmati pada waktu-waktu tertentu dalam setahun. Di akhir acara, para peserta mengikuti sesi permainan tradisional yang meliputi Permainan Tradisional Rangku Alu dan Dero dan dilanjutkan dengan sesi foto.

Acara tersebut memicu diskusi yang hidup dan menggugah pikiran di antara para peserta mengenai berbagai perbedaan budaya dan tradisi antara Anggota AIYA dari Indonesia dan Australia. Pertukaran ide dan perspektif ini memungkinkan nsetiap orang untuk mendapatkan pemahaman dan apresiasi yang lebih dalam terhadap kekayaan keberagaman yang ada di masyarakat.

AIYA Sulawesi Selatan sebagai tuan rumah acara ini mempunyai kesempatan luar biasa untuk menampilkan dan mempromosikan budaya Bugis-Makassar yang kaya dan dinamis kepada khalayak yang lebih luas. Pertukaran budaya ini memungkinkan adanya pemahaman dan apresiasilebih dalam terhadap tradisi, adat istiadat, dan warisan masyarakat Bugis-Makassar. Acara ini menyediakan wadah untuk menampilkan tarian tradisional Bugis-Makassar, musik, seni dan masakan, dan pakaian tradisional. Melalui acara seperti ini, AIYA Sulawesi Selatan diharapkan memainkan peran penting dalam melestarikan dan mempromosikan budaya Bugis-Makassar.

BREEZE: Reviving Cultural Connections Across Seas – Ilona McGuire’s Exploration in Makassar, Indonesia”

Selama tinggal di Makassar, Indonesia, Ilona McGuire akan mengeksplorasi identitas dan koneksi di seluruh lautan yang mendahului kolonisasi Australia. Dia akan mengeksplorasi hubungan antara budaya Makassan dan Aborigin yang terjalin dalam jaringan perdagangan kuno, melacak jalur yang diletakkan oleh nenek moyang yang tak terhitung jumlahnya yang pernah berteman. Proyek Ilona akan mengeksplorasi bagaimana kita dapat bekerja sama untuk memperbaiki koneksi ini, melanjutkan jaringan perdagangan dan menciptakan sesuatu dari mana Orang-orang Pertama dari tanah dan perairan ini dapat menarik kekuatan.

Bersama dengan Andi Nur Azimah, Ilona mendirikan BREEZE, sebuah kemitraan baru antara PICA, Rumata’ Artspace dan Universitas Negeri Makassar yang menyediakan platform untuk mengumpulkan pengetahuan, mengeksplorasi koneksi budaya dan kesempatan untuk mengembangkan hubungan antar budaya antara Australia Barat dan Makassar, dua daerah yang terhubung oleh ikatan sejarah dan budaya antara Negara-negara Pertama Australia dan orang-orang Makassan yang koneksi mereka mendahului kolonisasi.

Di jantung penjelajahan McGuire adalah keinginan untuk memahami bagaimana koneksi kuno ini dapat diperbaiki dan diperbaharui. Proyek ini mengantisipasi upaya kolaboratif untuk tidak hanya mengakui ikatan bersejarah tetapi juga secara aktif bekerja menuju kelanjutan jaringan perdagangan ini. Dengan melakukannya, McGuire berharap untuk menciptakan platform yang mempromosikan pemahaman dan rasa hormat bersama, memungkinkan orang-orang pertama di tanah dan perairan ini untuk menarik kekuatan dari warisan bersama mereka.

Kemitraan BREEZE: Platform untuk pertukaran budaya: Meluncurkan kemitraan BREEZE, Ilona McGuire dan Andi Nur Azimah bertujuan untuk menciptakan platform yang berarti untuk pertukaran pengetahuan dan eksplorasi budaya. BREEZE menyatukan PICA, Rumata’ Artspace, dan Universitas Negeri Makassar, mendirikan yayasan untuk mempromosikan hubungan antar budaya antara Australia Barat dan Makassar. Kemitraan ini mengakui ikatan sejarah dan budaya yang mendalam yang menghubungkan Negara-negara Pertama Australia dan orang-orang Makassan, sebelum era kolonisasi.

BREEZE tidak hanya berfungsi sebagai platform untuk memahami koneksi sejarah tetapi juga sebagai katalis untuk pengembangan hubungan antar budaya antara Australia Barat dan Makassar. Kemitraan ini memberikan kesempatan bagi seniman, sarjana, dan komunitas dari kedua wilayah untuk terlibat dalam dialog yang bermakna. Dengan memfasilitasi proyek dan inisiatif kolaboratif, BREEZE bertujuan untuk memperkuat ikatan antara dua bidang ini, mempromosikan penghargaan bersama untuk warisan budaya yang beragam.

Residensi Ilona McGuire di Makassar, Indonesia, sebagai bagian dari kemitraan BREEZE, adalah bukti kekuatan seni dalam menghidupkan kembali dan merayakan koneksi budaya. Melalui eksplorasi jaringan perdagangan kuno dan kolaborasi dengan Andi Nur Azimah, McGuire berusaha membangun jembatan antara Australia Barat dan Makassar, mengakui dan menghormati sejarah kaya yang mendahului kolonisasi. BREEZE berdiri sebagai beacon untuk hubungan antar budaya, menyediakan ruang di mana masa lalu menyatu dengan masa kini, menawarkan masa depan yang menjanjikan dari pemahaman bersama dan kolaborasi.

___

During her residency in Makassar, Indonesia, Ilona McGuire will explore identities and connections across the seas that pre-date the colonisation of Australia. She will explore the relationships between Makassan and Aboriginal cultures that are woven into ancient trading networks, tracing pathways laid by countless Ancestors who were once friends. Ilona’s project will explore how we can work together to repair these connections, continue trading networks and create something from which First Peoples of these lands and waters can draw strength from.

Along with Andi Nur Azimah, Ilona inaugurates BREEZE, a new partnership between PICA, Rumata’ Artspace and Universitas Negeri Makassar that provides a platform for knowledge gathering, the exploration of cultural connections and opportunities to develop intercultural relations between Western Australia and Makassar, two areas linked by the historical and cultural ties between Australian First Nations and Makassan people whose connection pre-dates colonisation. 

At the core of McGuire’s exploration is the desire to understand how these ancient connections can be repaired and revitalized. The project envisions a collaborative effort to not only acknowledge the historical ties but also to actively work towards the continuation of these trading networks. By doing so, McGuire hopes to create a platform that fosters mutual understanding and respect, allowing the First Peoples of these lands and waters to draw strength from their shared heritage.

BREEZE Partnership: A Platform for Cultural Exchange: Inaugurating the BREEZE partnership, Ilona McGuire and Andi Nur Azimah aim to create a meaningful platform for knowledge exchange and cultural exploration. BREEZE brings together PICA, Rumata’ Artspace, and Universitas Negeri Makassar, establishing a foundation for fostering intercultural relations between Western Australia and Makassar. The partnership recognizes the deep historical and cultural ties that bind Australian First Nations and Makassan people, predating the era of colonization.

BREEZE not only serves as a platform for understanding the historical connections but also as a catalyst for the development of intercultural relations between Western Australia and Makassar. The partnership provides opportunities for artists, scholars, and communities from both regions to engage in a meaningful dialogue. By facilitating collaborative projects and initiatives, BREEZE aims to strengthen the bonds between these two areas, fostering a shared appreciation for their diverse cultural heritage.

Ilona McGuire’s residency in Makassar, Indonesia, as part of the BREEZE partnership, is a testament to the power of art in reviving and celebrating cultural connections. Through her exploration of ancient trading networks and collaboration with Andi Nur Azimah, McGuire strives to build bridges between Western Australia and Makassar, acknowledging and honoring the rich history that predates colonization. BREEZE stands as a beacon for intercultural relations, providing a space where the past converges with the present, offering a promising future of shared understanding and collaboration.

MIWF Mencari 5 Penulis ‘Emerging Writers’ 2024

🗣️OPEN CALL FOR EMERGING WRITERS MIWF 2024⚠️

Untuk kamu yang tertarik berpartisipasi, sila melihat dan mempelajari informasi lebih lanjut.

Atau bisa langsung saja daftarkan diri dan karyamu ke bit.ly/emergingwritersMIWF2024

Batas akhir pendaftaran: 23 Februari 2024.

MIWF2024 #MIWFm/othering #makassarwriters #rumataartspace dan #meikemakassar #emergingwriters

Membuka Potensi Kerja Sama: Konsulat-Jenderal Australia Berkunjung ke Rumata’

Konsulat-Jenderal Australia di Makassar Todd Dias dan staff bersama Rachmat Mustamin di galeri Rumata’ (11/1/2024)

Rumata’ ArtSpace kedatangan Konsulat-Jenderal (Konjen) Australia, Todd Dias pada Jumat siang (11/1). Kedatangan tersebut merupakan agenda kunjungan untuk membuka potensi serta kemungkinan kerja sama lagi antara Rumata’ ArtSpace dan Konjen Australia dengan MIWF, Makassar Seascreen atau program-program Rumata’ yang lain.

Dalam kunjungan itu, Todd Dias menyempatkan berkeliling ke dalam galeri didampingi oleh Rachmat Mustamin sebagai Direktur Program dan Kemitraan Rumata’ ArtSpace, sembari mengobrol seputar kegiatan-kegiatan yang ada di Rumata’, mulai dari program yang diinisiasi oleh Rumata’, pameran oleh mahasiswa hingga pemutaran film.

Saat memasuki galeri, peta Australia adalah pajangan pertama yang dilihat oleh Todd Dias. Setelah tahu jika itu adalah peta Australia yang selalu dipajang di situ, beliau kemudian membagikan ceritanya tanpa sungkan mengenai tempat di mana dia lahir, dan menjelaskan hal-hal seputar geografis Australia pada peta itu.

Setelah berkeliling dari galeri dan ke kantor, obrolan dilanjutkan dengan minum kopi di halaman belakang sembari membahas seputar kopi dan film. Tidak hanya membahas hubungan kemitraan, kunjungan tersebut lantas meninggalkan beragam topik hangat dan menarik. 

Harapan Rumata’ ArtSpace setelah kunjungan itu, semoga ada kegiatan lain yang bisa dikerjakan bersama antara Rumata’ ArtSpace dan Konsulat-Jenderal Australia di Makassar selain PICA Perth.

Mengangkat Tema ‘m/othering’: MIWF Digelar Mei 2024

Makassar International Writers Festival (MIWF) kembali hadir dengan memperkenalkan tema barunya ‘m/othering‘.

Memasuki perhelatannya yang ke 24, MIWF rupanya datang lebih cepat di bulan yang lebih dekat. Jika pagelaran sebelumnya MIWF selalu diadakan di bulan Juni, kali ini MIWF 2024 akan digelar pada 23-26 Mei mendatang.

Seiring pertumbuhannya, MIWF selalu berupaya hadir untuk mendorong kesadaran dalam menciptakan dan merawat semangat dan nilai-nilai yang egaliter, ekologis dan inklusif pada setiap agenda-agendanya. Kali ini, kedatangan MIWF bersama tema ‘m/othering’ menjadi upaya bagaimana menumbuhkan kesadaran akan penting dan mendesaknya percakapan perihal gagasan dan tindakan ‘merawat’ atau ‘mengasuh’ di tengah berbagai persoalan hidup saat ini.

Tema ‘m/othering’ yang didatangkan itu kali ini menggunakan desain dan ilustrasi hasil dari tangan seniman perempuan asal Makassar, Hirah Sanada. Perpaduan warna dan ilustrasi dari Hirah Sanada berhasil menghadirkan semangat dan nilai-nilai yang coba diusung dalam tema tersebut, yaitu semangat untuk merawat dan mengasuh, sebagaimana representasi dari kata mother / ibu.

MIWF di tahun ini akan hadir lebih awal. Nantikan kejutan dan keseruan lainnya. Pantau Terus, Makassar International Writers Festival, ‘m/othering’ 24-26 Mei 2024.

Menuju Hari Raya Sastra dan Literasi: MIWF 2024 Resmi Umumkan Tiga Nama Kurator

Baru-baru ini, Makassar International Writers Festival (MIWF) resmi mengumungkan tiga nama penulis yang telah diangkat sebagai kurator untuk perhelatannya di tahun ini. Petanda bahwa hari raya sastra dan literasi di kawasan Indonesia Timur itu sudah dekat. Bersama M. Aan Mansyur sebagai direktur dan co-direktur Ilda Karwayu, kali ini MIWF mempertemukan tiga nama penulis dan editor yang berasal dari Kupang Nusa Tenggara Timur dan Barru Sulawesi Selatan yang akan bertugas sebagai kurator MIWF 2024, mereka adalah Margareth Ratih Fernandez, A. Nabil Wibisana dan Mariati Atkah.

MIWF adalah festival sastra dan literasi tahunan di Makassar yang dimulai sejak tahun 2011, selalu hadir dengan segenap kejutan pada tiap helatannya. Mulai dari kurator, tema acara, penulis yang didatangkan, program, konsep panggung, hingga kejutan yang datang melalui penampil yang akan mengisi acara dengan beragam pentas dan kolaborasi.

Seperti yang terjadi pada perhelatan MIWF di tahun lalu, salah satu kurator yaitu Theoresia Rumthe tidak hanya menjajal panggung MIWF sebagai kurator dan penulis, melainkan beliau juga berbagi nada dan suara bersama band folkpop asal Makassar Kapal Udara, yang berhasil menyulap suasana panggung MIWF 2023 yang temaram berubah menjadi keintiman yang begitu energik. Atau penampilan dari Abdi Karya, seniman pertunjukan yang berhasil mencuri tepuk tangan dan sorak yang meriah dari penonton ketika berimprovisasi dan bermain-main dengan seorang anak kecil yang tiba-tiba saja naik ke atas panggung. Begitu juga kejutan yang datang di hari ke dua dari pidato Evi Mariani yang begitu tajam dan berapi-api membagikan semangat berlawan, menggetarkan hati seluruh dari mereka yang mendengarnya melantangkan manifesto perlawanan terhadap penindasan di Benteng Rotterdam. Pada akhir babak di hari ketiga, MIWF 2023 berhasil ditutup dengan semua orang membawa pulang memori yang begitu manis sekaligus euforik untuk dikenang usai penampilan Is Pusakata yang begitu merdu melantunkan lagu-lagunya dan seluruh penonton yang ikut bernyayi. Luar biasa, sungguh kejutan dan keseruan yang begitu massif pada festival sastra dan literasi.

Nah, perhelatan MIWF di tahun ini sudah mulai terasa, penasaran bagaimana kejutan dan keseruan yang akan dihadirkan nanti? Pantau terus. Makassar International Writers Festival 2024. Segera!

Panggilan Kepada Komunitas Di Pulau Kalimantan: Mari Bergabung Bersama BASAibu Wiki

BASAibu Wiki adalah organisasi yang mendorong kaum muda untuk menyuarakan pendapat mereka melalui platform digital dalam bahasa ibu atau bahasa lokal yang diinisiasi dan diorganisir oleh BASAbali – sebuah kolaborasi seniman, advokat, mahasiswa dan cendekiawan yang berbasis di Bali, Indonesia dan di Washington, DC – sejak tahun 2020.

Sebelumnya, BASAibu Wiki merupakan platform digital kamus wiki bahasa Bali dan perpustakaan virtual yang dikembangkan secara komunitas – community-developed – berdasarkan karya peneliti dan penulis Fred Eiseman yang tidak diterbitkan. Kini BASAibu Wiki telah dikembangkan menjadi organisasi yang fokus memberdayakan nilai-nilai lokal di tengah masyarakat dan komunitas, sekaligus menyediakan platform digital yang dapat digunakan oleh khalayak ramai untuk mendiskusikan isu-isu sipil secara publik dengan beragam bahasa, melalui video, audio, puisi, prosa, foto atau format lainnya di ‘Ruang Komunitas’. Begitu juga bagi para seniman dan komunitas, terutama yang hanya dikenal di lingkungan mereka, kini dapat dikenal luas oleh khalayak ramai melalui platform tersebut di mana jumlah penggunanya saat ini sudah lebih dari 2,3 juta pengguna di Bali, Indonesia.

Di tahun 2021, BASAibu Wiki mulai mereplikasi semangatnya hingga ke Sulawesi Selatan, dengan nama BASAsulsel Wiki yang hadir melalui pendekatan keterlibatan komunitas.

Foto bersama peserta WIKITHON 14 di halaman belakang Rumata’ ArtSpace | 2023

Rumata’ ArtSpace dan MIWF adalah mitra komunitas di Sulawesi Selatan yang kemudian menjadi pengelola dan mengembangkan BASAsulsel Wiki di bawah payung BASAibu Wiki. Tentunya dengan semangat memperdalam dan memberdayakan wiki kebudayaan Sulawesi Selatan.

Sosialisasi ke sekolah WIKITHON 13 | 2023

Kehadiran BASAsulsel Wiki saat ini mencakup komunitas yang meliputi Kota Makassar dan Kabupaten Gowa, yang saling terhubung melalui Rumata’ ArtSpace dan MIWF dalam mengembangkan nilai-nilai lokal, salah satunya yaitu memberdayakan bahasa Makassar dan Bugis.

Penyampaian opini peserta WIKITHON 15 di halaman belakang Rumata’ ArtSpace | 2023

Pada agenda-agendanya, BASAsulsel Wiki aktif mengadakan program seperti WIKITHON, yang merupakan program berkelanjutan yang dijalankan di dalam lingkungan yang ramah, aman serta inklusif yang bertujuan mengundang masyarakat untuk ikut bersuara, memberi ide, gagasan, berbagi strategi, dan ikut membantu penyusun kebijakan untuk meningkatkan taraf hidup, budaya, dan lingkungan bagi masyarakat sekitar.

Kini, BASAibu Wiki juga akan hadir di Pulau Kalimantan dengan nama BASAkalimantan Wiki, dan sedang menjangkau komunitas-komunitas yang berada di Pulau Kalimantan untuk dilibatkan sebagai mitra yang akan bersama-sama mengembangkan BASAkalimantan Wiki.

Jika kamu merupakan bagian dari organisasi/komunitas yang bergerak pada isu anak muda, kebahasaan, kebudayaan, literasi maupun edukasi di Pulau Kalimantan, kamu dapat mendaftar di laman formulir pendaftaran yang tertera di atas atau kunjungi alamat di akhir tulisan. Jangan sampai terlewatkan, segera daftar dan kembangkan komunitas-mu bersama BASAibu Wiki.

Mari bersama-sama melestarikan bahasa ibu melalui BASAkalimantan Wiki, BASAsulsel Wiki bersama BASAibu Wiki.

Batas akhir pendaftaran: 14 Januari 2024

Informasi lengkap silakan kunjungi alamat

Katalog Penutup 2023 Rumata’: Ramah Tamah Seniman dan Filmmaker Bersama Duta Besar Prancis

Ramah tamah seniman dan filmmaker bersama Dubes Prancis Fabien Penone dan rombongan di Rumata’ ArtSpace | 2023

Pada pertengahan Desember 2023 lalu, Rumata’ ArtSpace menyambut kedatangan Duta Besar Prancis untuk Indonesia, Timor Leste dan ASEAN Fabien Penone pada Selasa malam (19/12). Agenda itu merupakan ramah tamah bersama para seniman dan filmmaker di Makassar, sekaligus mengobrol seputar peluang kolaborasi di antara mereka.

Fabien Penone menyempatkan kunjungan ke Siku Ruang Terpadu selepas dari Rumata’ ArtSpace (19/12/2023)

Kedatangan Duta Besar Prancis tersebut juga menjadi momen bagi para seniman, kolektif, dan filmmaker yang hadir untuk saling memperkenalkan profilnya. Di antara mereka ada Kinefilia, Hore Pictures, Siku Ruang Terpadu, Tanah Indie, Kedai Buku Jenny, Titik Temu, Waesinema, Prolog Studio, juga beberapa seniman dan penulis seperti Alghifahri Jasin, Aan Mansyur dan Ibe S Palogai. Momen itu sekaligus menjadi katalog penutup tahun 2023 galeri Rumata’ menuju pergantian tahun 2024.

Foto bersama Fabien Penone di Galeri Rumata’ (19/12/2023)

Turut Larut Bersama Perasaan-Perasaan Melayari Manusia ke Tubuh Derita

Oleh: Fatma Hamza

Ruangan terdengar senyap, lekat, penuh intim. Selembar kain putih polos, membentang rapi di tengah. Stoples berbentuk tabung kaca dengan penutup berbahan dasar kayu, tergeletak rapi di tepi kain. Sebuah buku catatan kecil lengkap beserta penanya turut menemani Sang Stoples di sana. 

Alghifahri Jasin, selanjutnya disebut Agi, duduk di seberang tepi, rambutnya terurai, baju yang ia kenakan lebih mirip kemeja, tetapi seperti berbahan satin berwarna hitam, juga bawahan sarung putih. Suasana berlangsung khidmat, penonton memenuhi ruangan, donat buatan Istri tercinta Agi juga disuguhkan dengan menarik di atas meja di sisi kiri pintu masuk. Namun, kita tidak sedang membahas tentang donat yang rasanya maha lembut itu, tetapi perihal karya tumbuh yang sedang dipresentasikan. 

Karya Agi, sengaja ia sebut karya yang tumbuh. Pertama kali membawakan presentasi karya tersebut, ia suguhkan di Tubaba, Lampung. Karya yang ia sebut karya yang tumbuh, bukan tanpa alasan, karena apa yang ditampilkan bukanlah karya utuh melainkan sebuah proses sebelum utuh menjadi karya. Presentasi ini mendapat pantulan dari penonton, selanjutnya Agi akan menangkap segala pantulan itu berupa cerita-cerita penonton tentang laut untuk dia olah dalam proses karyanya. Harapan dilihat bukan hanya menjawab pertanyaan bagaimana laut dan darat itu hidup di mereka. Namun, akan terus menjawab perihal pertanyaan-pertanyaan selanjutnya, pertanyaan-pertanyaan yang lahir kemudian. Bisa jadi perihal bagaimana perasaan-perasaan mereka menjalani rutinitas yang itu-itu, perasaan-perasaan mereka menjalani rutinitas yang mulai berubah-ubah, perasaan-perasaan mereka menjalani rutinitas yang nang ning nong.

Karya yang tumbuh yang sedang Agi usahakan. Agi menyebutnya presentasi karya yang sedang tumbuh, sebab masih berusaha ia usahakan, berusaha ia selami, dan akan terus tumbuh, katanya. Namun, mari kita sebut ia dengan pertunjukan.

Pertunjukan dibuka dengan kain yang terbentang, diusap-usap penuh kasih. Semua sunyi, Agi memperbaiki duduknya. Suara bentangan kain seperti suara ombak di pesisir, Agi ulang-ulang terus-terus. Tepi kain ia buka sedikit, sedikit ke tengah, sedikit hampir sepenuhnya, perlahan tubuh Agi berada di dalamnya. Larut, begidik, lantang, parau, haru, lagu, bisik, tepuk, cakar, robek, puisi, nyeri, ngilu, sepi, rindu, begitu seterusnya. Seiring nyanyian yang menggema, kain makin menutupi tubuh Agi, kepalanya makin rapat ke bumi. Seolah kapal sedang lunglai, berkelahi dengan arah angin yang senang bermain-main, tubuh Agi turut ke sana kemari. Ia melantunkan kelong-kelong, liriknya tiada berhenti terngiang, yang menonton makin khidmat. Ketika semua hampir usai, Agi berdiri. Menuju ke tengah, bersila, buku di depannya ia buka dengan melepaskan tali kaitannya lalu mulai menulis di secarik demi secarik. Tiap secarik yang ia gulung, ia masukkan ke dalam stoples penuh air, mengapung. Rambutnya ia potong sedikit dan turut larut. Selepas itu, ia berdiri, membagikan secarik demi secarik kepada semua penonton yang hadir. Penutup stoples ia tutup, ia kembali duduk, bernyanyi sebentar, berpuisi hampir sebentar, entah itu bait yang bersambung, semua terdengar sarat. Menariknya, rambut Agi yang semula terurai kini menggumpal, setelah ia gunting di tengah pertunjukan yang hendak selesai.

“Terima kasih,” tutup Agi.

Bagiku, kain yang terbentang mewakili layar kapal-kapal para nelayan. Juga pada suara-suara yang tercipta oleh kain yang terus menerus dibentang, ombak-ombak kian menubruk dada kepala keluarga yang harus menahan semua perasaan-perasaan ragunya, semua perasan-perasaan takutnya. Ketimbang kebutuhan kehidupan, rasa-rasanya semua hal tidak lagi cukup dijadikan pertimbangan.

Sedang tubuh Agi yang berusaha masuk ke dalam kain, menurutku mewakili perasaan Agi yang hendak menyelami perasaan-perasaan yang dipelihara masyarakat di pesisir tiap kali kewajiban melaut itu datang. Sementara harapan, mengapung bersama secarik demi secarik. 

Secarik demi secarik yang ia persilakan kepada semua penonton untuk saling mengambil satu-satu, seolah seperti keinginannya untuk turut membagikan harapan pada semua makhluk yang hidup. Seolah semua yang bernyawa berhak menggenggam harapan, berhak terus hidup dengan harapan yang ia peluk. Tidak semua penonton menggunakan nuraninya untuk tahu bahwa ia berhak mengambil secarik demi secarik itu. Beberapa penonton di awal, memilih memperhatikan ke dalam, memilih melekat sejenak, memilih tidak menyentuh apa pun. Beberapa yang lain, tak butuh banyak waktu, merasa perlu melongok ke dalam, memilih secarik mana yang akan ia jadikan miliknya. Begitu juga denganku, secarik pilihanku kupilih tanpa ba bi bu, tanpa ina inu.

Saat Agi mulai bersila kembali, ia mendengungkan kalimat-kalimat yang sarat.

Bila nenek moyangku seorang pelaut

Ia menjala jawaban atas semua pertanyaan yang tertinggal di bibir untuk diucapkan

Bila nenek moyangku seorang pelaut

Ia menukar ikan dengan gedung sekolah impian Ibu

Memang nenek moyangku seorang pelaut

Ibu menjadi guru dan aku dihukum tak menghapalkan lagu itu

Kau, nenek moyangmu seorang?

Judulnya “Mencetak Identitas”, sarat sekali. Tidak hanya pertanyaan-pertanyaan perihal realitas seseorang yang lahir di pesisir, pertanyaan-pertanyaan perihal seseorang yang menghabiskan hari-harinya sebagai anak nelayan, juga pertanyaan-pertanyaan perihal bagaimana laut dan darat di hidup mereka, terus berputar-putar, tak terselesaikan. 

Kata Agi, mungkin alasan mengapa kita menyukai perayaan dalam setiap bagian hidup kita untuk merayakan penderitaan dan menanggungnya bersama. Ini juga terekam lewat cara Agi menggunting rambutnya saat pengujung pertunjukan karya yang sedang tumbuh ini tiba. Sayang sekali, beberapa tahun belakangan rambut Agi yang panjangnya sedikit melewati bahunya sangat melekat dengan dirinya, menikmati ke mana kehendak kaki Agi melangkah. Bagian itu bisa saja merupakan penutup, bisa pula menjadi sebuah perayaan terhadap kesukaran yang telah dia, kita, mereka, kalian, dan seluruh penduduk di pesisir lewati.